Bab I
Pendahuluan
- Latar Belakang
Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari sebuah
periodesasi dalam pemerintahan bangsa ini. Berdirinya negara Indonesia tidak
lepas dalam ingatan kita dengan peran sebuah periode pemerintahan yang pada
saat itu bernama pemerintah orde lama, pada pemerintahan orde lama ini kita
bisa mengenal siapa yang memimpin bangsa pada saat itu yaitu Soekarno, melihat
sepak terjang dan gaya kepemimpinan memberikan sebuah gambaran nantinnya peran
Soekarno dalam masa kepemimpinan bangsa
ini yang memiliki sebuah power
(kekuatan) dalam menjalankan roda pemerintahan pada masa orde lama. Disamping itu juga pada masa orde lama
ini perlu diingat bahwa negara dalam kondisi transisi, setelah Indonesia keluar
dari penjajahan bangsa asing.
Kondisi tersebut
memberikan dampak pada implementasi kebijakan
nantinya pada masa pemerintahan orde lama ini untuk bisa mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang
pada saat itu para penjajah menginginkan kembali untuk menjajah negara
Indonesia. Sehingga memberikan gambaran
bagaimana pada masa pemerintahan orde lama ini terjadi sebuah pemerintahan yang
jatuh bangun seirama dengan dinamika sosial politik yang berkembang pada saat
itu. Melihat situasi dinamika sosial politik pada masa orde lama yang terjadi
baik eksternal maupun
internal negara memberikan gambaran bahwa bagaimana proses dinamika yang
terjadi untuk bisa keluar dari permasalahan bangsa yang penuh dengan gejolak
pada saat itu.
Pada saat itu
memang situasi dunia dalam masa pemuliahan dari perang asia pasifik, disamping
itu juga perkembangan paham ideologi yang berkembang diantaranya, faham
kapitalis, liberalisme, komunis, dan sosialis yang berkembang di negara barat,
sehingga memberikan sebuah dampak dan pengaruh besar terhadap dinamika sosial
politik di seluruh dunia.
Dampak itu berpengaruh besar terhadap keadaan dinamika perpolitikan di Indonesia, dikarenakan
negara-negara yang memiliki faham, baik faham kapitalis maupun komunis memiliki peran
dalam memperebutkan pengaruh di negara-negara berkembang diantaranya negara
Indonesia.
Dalam kondisi
awal setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, kondisi
Indonesia pada saat itu belum memiliki seorang presiden negara sehingga kesibukan selanjutnya
adalah menyusun tatanan mengenai kehidupan kenegaraan. Lewat usulan Oto
Iskandardinata
pemilihan presiden secara aklamasi. Secara tidak langsung Oto Iskandardinata mengusulkan nama Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia sehingga
berangkat dari pemilihan presiden dan wakil presiden secara aklamasi ini pada tanggal
18 Agustus 1945 secara resmi Negara Indonesia memiliki presiden dan wakil
presiden yang sah[1].
Setelah terpilihnya Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden memberikan
sebuah gambaran akan periodesasi awal pemerintahan orde lama yang mana dalam
masa orde lama banyak terjadi dinamika perpolitikan yang berkembang pada
masa tersebut. Sehingga dalam makalah
ini akan membahas tentang situasi dinamika sosial politik yang berkembang serta pengaruhnya dalam pelaksanaan Pancasila di era orde
lama.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
Permasalahan-permasalahan
Sosial Politik Era Orde Lama & Penyebabnya
2.
Bagaimanakah
Penyimpangan-penyimpangan
terhadap Pancasila di Era Orde Lama termasuk klarifikasi G30S/PKI?
3.
Bagaimanakah
Proses
Jatuhnya Presiden Soekarno dan kesalahan-kesalahan yang dituduhkan terhadapnya?
- Tujuan Masalah
1. Mengetahui
permasalahan dan situasi Sosial dan Politik Era Orde Lama
2. Mengetahui penyimpangan-penyimpangan terhadap
Pancasila di Era Orde Lama termasuk klarifikasi G30S/PKI?
3. Mengetahui
proses Jatuhnya kekuasaan Orde Lama?
Kajian
Teori
Nasionalisme
Dalam
tahun 1882 Ernest Renan
telah membuka pendapatnya tentang paham kebangsaan. Nasionalisme itu adalah
suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada suatu golongan yang
keberadaanya adalah suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:
pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riyawat
memiliki Sejarah yang sama; kedua rakyat itu rakyat itu sekarang harus mempunyai
kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Sehingga bukan menjadi sebuah persoalan
antara perbedaan Ras, bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan
butuh, bukan pula batas-batas negeri yang menjadikan bangsa itu. Pandangan
nasionalisme inilah menjadi motor penggerak akan sebuah berdirinya suatu bangsa
yang saling mengisi satu sama lain, karena suatu bangsa bisa tercermin dengan
suatu persatuan yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh
rakyat itu, yang menjadi suatu itikad suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu
ada satu golongan dan satu bangsa yaitu bangsa Indonesia[2]
Agama
Berangkat
dari sebuah pemikiran tokoh abad kesembilan belas, berkilau-kilaulah yang
tercermin dalam dunia keislaman tertulis dalam buku-riwayat muslim; Sheikh
Mohammad Abdouh, dan Sayyid Jamaluddin Al Afghani memberikan sebuah sumbangan
pemikiran tentang Pan-Islamisme yang telah membangunkan dan menjunjung
rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia dari sebuah kegelapan dan kemunduran.
Walaupun dalam sikap diantara dua tokoh ini ada sedikit perbedaan satu sama
lain yang mana Sayyid Jamaluddin Al Afghani yang terkenal dengan pemikiran
radikalnya yang mana dalam pemikirannya Sayyid Jamaluddin Al Afghani pertama
membangun rasa perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat muslim terhadap bahaya
Imperialisme Barat, perlunya sebuah barisan rakyat Islam yang kokoh, guna
melawan bahaya imperialisme barat.[3] Dengan
menanamkan keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil
tekniknya kemajuan barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan barat”.
Islam yang sejatinya tidaklah mengandung azas anti Nasionalis; Islam yang
sejati tidaklah bertabiat anti-sosialis. Selama kaum Islamis memusuhi
paham-paham Nasionalisme yang luas budi dan marxisme yang benar, selama itu
kaum Islamis tidak berdiri di atas sirothol
mustaqim; selama itu tidaklah bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan
kerusakan tadi, sehingga Islam memberikan sebuah tabiat-tabiat yang sosialistis
dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya
nasionalis pula. Secara penerapanya Islam yang sejati mewajibkan pada
pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ditempati. Mencintai dan
bekerja untuk rakyat merupakan sebuah pengabdian yang sejati, sehingga ini
menjadi motto penggerak untuk bagaimana menjadikan Islam yang mampu menjawab
dan mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara.
Marxisme
Perlu
disimak bahwa mendengar perkataan ini, maka tampak pada suatu gambaran tentang
kaum yang ada di belahan negara manapun mendapati sebuah kaum yang pucat-muka dan
kurus badan, pakaian yang kusut, ini menggambarkan sebuah kesenjangan sosial
yang nyata untuk bagaimana para kaum intelek muda memberikan sebuah pencerahan
bagi kaum Ploretar (rakyat jelata).
Bagaimana rakyat jelata sudah mengalami kesengsaraan untuk bisa merubah nasib
hidupnya menjadi sebuah kesejahteraan yang nyata. Maka dalam benak pemikirannya
Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisanya tidak satu kali mempersoalkan kata
kasih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan dan
mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu menjadi sebuah
perlawanan dari kaum burjuasi yang identik dengan sebuah paham kapitalisme yang
menyengsarakan rakyat jelata. Menjadi sebuah pelajaran yang berharga yang
bersandarkan sebuah perbendaan (Materialisme),
Karl Marx menjabarkan sebuah teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan
oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga kerja hasil
dari pekerjaan kaum buruh dalam memproduksi barang itu adalah lebih besar
harganya daripada yang diterimanya sebagai upah (meerwaarde). Dalam pernyataan selanjutnya bahwa “bukan budi-akal
manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubungan
dengan pergaulan hidupnya yang menentukan budi akalnya. Sehingga dengan upah (meerwaarde) itu dijadikan kapital pula,
maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama
mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalsaccumulatie), dan bahwa,
oleh persaingan perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh
perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakkan ini akhirnya
Cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya
(kapitaalscocentratie). Sehingga ini memberikan sebuah dampak pada nasib kaum
buruh makin lama tak menyenangkan dan menimbulkan sebuah ketimpangan sosial.
Keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi,
akal, agama dan lain-lainnya, sehingga paham kapitalisme itu akhirnya akan
lenyap dengan sendirinya diganti oleh susunan pergaulan hidup yang lebih adil
dan mensejahterakan rakyat jelata.
Dengan
uraian yang diatas memberikan sebuah gambaran bagaimana seorang Soekarno dalam
menggabungkan sebuah pemikiran yang nantinya menjadi sebuah landasan Soekarno
dalam menjalankan suatu roda pemerintahan pada masa orde lama, bagaimana
langkah Soekarno menjadikan sebuah terobosan sejarah yang nantinya menimbulkan
sejumlah konsekuensi. Karena menurut pemikiran Soekarno dengan menjalankan dan
menggabungkan 3 elemen penting tersebut memiliki sebuah keselarasan yang sesuai
dengan semangat kepribadian dan nilai-nilai demokrasi asli yang berakar dalam
tradisi Indonesia dan “dalam Demokrasi Terpimpin yang menjadi kunci adalah
kepemimpinan[4].
Tetapi dalam prateknya Demokrasi yang dilaksanakan oleh Soekarno cenderung pada
otoriter dan diktatorial. Kritik utama terhadap pratik Demokrasi terpimpin
adalah, meskipun Soekarno dalam menjalankan roda pemerintahan menggunakan kata
demokrasi, sesungguhnya tidak lebih dari konsep politik yang mengarahkan pada
praktik otorialisme dan diktator. Sehingga menjadi sebuah gambaran menarik
dalam dinamika perpolitikan yang ada di Indonesia pada masa orde lama secara
tidak langsung Soekarno juga bagaimana berusaha melanggengkan akan kekuasaannya
dengan cara memberikan sebuah landasan konsep Ideologi dalam bernegara untuk
bisa memberikan pengaruh yang maksimal kepada rekan politiknya walaupun konsep
yang ditawarkan soekarno juga menimbulkan sebuah kritik dari lawan politiknya.
Pembahasan
A. Situasi Sosial dan Politik Era Orde
Lama pada 1945-1950
Pada saat pemerintahan
orde lama, dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang direbutnya
pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah
kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang bertekuk lutut dihadapan
tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan sekutu yang mendarat pada tanggal 29
September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-serangan
atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar, bentuk perlawanan
dilakukan oleh bangsa Indonesia. Diantaranya pretempuran yang dilakukan 5 hari
di Semarang (15-20 Oktober 1945), pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang,
pertempuran 7 Oktober 1945, di kotabaru Yogyakarta dan puncaknya adalah
pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Semua serangkaian itu
adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan para penjajahan.
Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan. Dengan
mengikuti berbaagai perundingan diantaranya adalah perundingan Linggar Jati,
Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar), para pemimpin Indonesia berusaha
menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan untuk menjaga kesatuan wilayah
Nusantara. Perundingan Linggar Jati
dilakukan pada tanggal 25 Maret 1947, menghasilkan kesepakatan tentang
eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan Sumatera
serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). Terlepas
dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan
tokoh-tokoh pergerakan waktu itu, perundingan ini menjadi sebuah kemajuan bagi
perjuangan pergerakan bangsa Indonesia.[5]
Pasca perundingan,
ditubuh kabinet terjadi sebuah perpecahan. Partai Sosialis yang memimpin
kabinet terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh
Sutan Syahrir dan Sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin.
Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan
digantikan oleh Amir Syarifudin. Dalam menjalankan roda pemerintahan sekalipun
kabinet Amir Syarifudin ini merupakan kabinet koalisi yang kuat, namun setelah
kabinet Amir Syarifudin menerima persetujuan Renville, kembali partai-partai politik menentangnya.
Masjumi yang merupakan
pendukung utama kabinet, menarik kembali menteri-menterinya. Tindakan ini
diambil, karena Masjumi berpendapat bahwa Amir Syarifuddin menerima begitu
saja, ultimatum Belanda atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari KTN.
Tindakan Masjumi didukung oleh PNI. Sebagai hasil dari sidang dewan partai
tanggal 18 Januari 1948, PNI menuntut supaya kabinet Amir Syarifudin
menyerahkan mandatnya kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville, karena persetujuan itu tidak
menjamin dengan tegas akan kelanjutan dan kedudukan Republik. Kabinet Amir
Syarifudin yang hanya didukung oleh sayap kiri tidak berhasil di pertahankan,
dan pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin menyerahkan kembali mandatnya
kepada Presiden[6].
Secara keseluruhan
persetujuan Renville merugikan RI
sehingga kabinet Amir Syarifudin harus menyerahkan mandatnya. Sebagai
penggantinya, Presiden Soekarno menunjuk wakil Presiden Moh. Hatta untuk
menyusun kabinet. Kabinet Hatta di dominasi wakil dari Masyumi dan PNI,
sedangkan dari partai Sosialis dan Amir Syarifudin yang berambisi menjadi
Menteri Pertahanan tidak diikutsertakan. Oleh karena itu, mereka merupakan
kelompok oposisi terhadap Kabinet Hatta yang dianggap sebagai Kabinet Masyumi.
Amir Syarifudin semakin tersisih, tetapi Amir Syarifudin
kemudian mendirikan Front
Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 26 Februari 1948 dengan mempersatukan PS
(Partai Sosialis), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai komunis Indonesia
(PKI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Serikat Buruh Perkebuanan RI
(Sarbupri). Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Barisan Tani
Indonesia (BTI) belum sepenuhnya menjadi organisasi bawahan PKI. Front Demokrasi Rakyat yang menjadi organ
oposisi itu memilih program anti-Renville, penghentian perundingan dengan
Belanda, menasionalisasi perusahaan Belanda, dan pembubaran Kabinet Hatta dan diganti dengan Front
Demokrasi Rakyat (FDR).
Ketidakpuasan golongan
yang anti Kabinet
Hatta disebabkan karena gagalnya kehidupan masyarakat, blokade Belanda dan nasionalisasi yang belum berjalan. Oleh
karena itu, Serikat Buruh Perkebuanan RI (Sarbupri) melakukan percobaan
pemogokan di pabrik karung Delanggu pada Juni 1948. Hal ini semakin membuka
konflik antara Pesindo-Sarbupri dengan Hisbullah-Serikat Tani Islam Indonesia
(STII), selama berlangsungnya kekerasan 2 kelompok itu, pasuka Siliwangi yang
hijrah ke Surakarta diperintahkan untuk memulihkan keamanan. Datangnya pasukan
siliwangi ini menyebabkan perasaan tidak senang Divisi IV Diponegoro yang
merasa lebih mempunyai tanggung jawab. Polarisasi semakan tampak antara Islam
melawan Komunis.
Program rasionalisasi
militer dimanfaatkan oleh Amir Syarifuddin dapat dipakai untuk menyerang
pemerintahan yang tidak bijak. Selain program rasionalisasi akan mengurangi
jumlah militer, juga divisi yang banyak dirugikan adalah divisi yang anggotanya
berasal dari kelompok Amir Syarifuddin, termasuk TNI Masyarakat. Dengan
demikian, eskalasi konflik makin kuat. Selain komunis yang berorientasi
Internasional, di Indonesia berdiri Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) yang
didirikan oleh Tan Malaka yang berorientasi Nasional. Oleh karena itu GRR lebih
dekat dengan kabinet Hatta daripada FDR-PKI.
Program kabinet Hatta
merugikan golongan Amir Syarifuddin sehingga menimbulkan bentrokan fisik.
Polarisasi kekuatan yang berkonflik antara Divisi IV-Pesindo dan
Siliwangi-Barisan Banteng mengakibatkan teror dan pembunuhan terhadap dr.
Moewardi sebagai puncaknya, pecah Pemberontakan PKI Madiun pada tanggal 18
September 1948. Setelah Pesindo mendirikan pemerintahan Soviet di Kota Madiun.
Pembunuhan dan penahanan dilakukan terhadap tokoh sipil dan militer yang
dianggap merintangi gerakannya. Untuk mengembalikan wibawa pemerintah, pasukan
Siliwangi dibawah Kolonel Sungkono. Hanya dalam waktu 2 minggu pemberontakan
PKI dapat di tumpas. Pemimpin pemimpinnya yang melarikan diri kebeberapa tempat
di Jawa Timur dikejar dan di tembak. Jelas bahwa Soekarno sebagai pemimpin
nasional tetap mempunyai wibawa yang besar.
Seiring terjadinya
persetujuan Renville yang buntu,
gejala kemacetan terjadi dan untuk mengatasinya, wakil Amerika Serikat dan
Australia dalam KTN mencari jalan kompromi, yaitu dengan diserahkanya secara
rahasia Du Bois Critchley Plan pada
tanggal 10 Juni 1948 kepada Belanda. Rencana ini dianggap merugikan Belanda
karena perundingan dengan RI dianggap putus. Secara politis Belanda, menekan RI
dan secara ekonomi telah memblokade pedagangan luar negeri sehingga RI
kekurangan obat-obatan, tekstil, dll. Inflasi semakin meningkat. Menurut
Belanda, RI akan jatuh dengan sendirinya. Namun, keadaan ini nanti dimanfaatkan
oleh partai komunis dengan mendirikan “Pemerintahan Soviet” di Madiun.
Menjelang Agresi
militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 pesawat-pesawat pembom Belanda
menyerang lapangan terbang Maguwo sambil menurunkan pasukan payung. Perlawanan
dari pengawal lapangan udara dengan persenjataan yang tidak seimbang untuk
mempertahankan lapangan terbang Maguwo. Yang mengakibatkan gugurnya beberapa
orang personil tentara udara. Selajutnya gerakan penghambatan dilakukan oleh 2
seksi Brigade 10 dan 2 seksi taruna militer akademi. Yogyakarta menjadi sasaran
penyerbuan, tapi baru pukul 11.00 pasukan Belanda dari brigade T di bawah
pimpinan kolonel Van Langen masuk kota. Dengan kekuatan tidak seimbang pasukan
TNI menarik diri dan bertahan di luar Kota Yogyakarta dengan melakukan
perlawanan gerilya. Tentara Belanda kemudian menawan presiden, wakil presiden, Sutan Syahrir dan sejumlah
menteri.
Sebagai tanda
kemenangannya, Belanda menyiarkan berita keluar negeri dengan arogannya bahwa
pers Indonesia di sensor keras dan TNI sudah tiada lagi. Lagi pula para
pemimpin sudah di tawan. Akan tetapi, keadaan sebenarnya dapat dikirim lewat
radio gerilya yang mengirim berita serangan balik ke Sumatra, Burma, dan India.
Diplomat Indonesia, yaitu LN Palar, Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo
Sastrosatomo menjelaskan eksistensi RI dan TNI melakukan perang gerilya.
Diplomasi Palar diforum Internasional memang hebat dan membuat Belanda tidak
berkutik.
Dalam waktu bersamaan
sebelum tertangkapnya para pejabat negara, pada pagi hari minggu, tanggal 19
Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerang kota Wakil Presiden Moh.
Hatta sedang menghadiri KTN di Kaliurang
untuk mengambil keputusan dalam waktu yang sangat genting di perlukan kehadiran
Perdana Menteri Hatta. Sedangakan Menteri-menteri sudah datang ke gedung
negara, Presiden dan para menteri duduk diserambi belakang dengan wajah-wajah
yang sangat prihatin. Presiden meminta Hatta untuk di jemput. Dengan segera
Sultan Hamengku Buwono IX selaku menteri negara dengan sepontan beliau
mengatakan hendak menjemput Bung Hatta ke Kaliurang setelah Bung Hatta dan
Sultan datang, sidang kabinet segera dimulai.
Dalam sidang itu
diambil keputusan pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
yang di kepalai oleh Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang melakukan
perjalanan ke Sumatra sejak sebelum Agresi militer kedua. Telegram dikirim oleh
Menteri Perhubungan, Ir. Juanda, kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara bahwa
selama pemerintah RI tidak dapat menjalankan fungsi karena ditawan Belanda,
maka PDRI-lah yang harus meneruskan roda pemerintahan. Radio gerilya yang ada
di dekat kota solo mengirim berita kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara dan
selanjutnya menyusun pemerintahan darurat. Mr. Syarifuddin Prawiranegara diberi
kepercayaan dan mandat untuk menjalankan PDRI di Sumatera bila tidak berhasil
dibentuk, pemerintah telah menyiapkan pemerintahan darurat diluar negeri dengan
memberikan kuasa kepada Dr. Sudarsono dan Mr. Maramis yang sedang berada di
India.
PDRI ternyata juga
aktif dalam menjalankan pemerintahan, Pemerintah Jogja Nonaktif sementara.
Kedatangan Hatta di Aceh ialah untuk menjelaskan persetujuan Rum-Roijen dapat
di terima dengan baik oleh pemimpin TNI di Aceh dan PDRI. Selanjutnya PDRI
setuju dengan persetujuan Rum-Roijen dengan syarat bahwa TNI tetap ada di
daerah yang di duduki oleh tentara Belanda ditarik dari tempat yang
didudukinya. Pemulihan pemerintahan RI di Yogjakarta dilakukan tanpa syarat.
Pernyataan ini disiarkan lewat RRI Sumatera pada tanggal 14 juni 1949. Mr.
Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden RI di Yogyakarta
tanggal 13 Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama 8 bulan telah
berhasil menggantikan pemerintahan RI, meski dalam beberapa hal harus dikonsultasikan
dengan fungsionaris RI dalam pembuangan. Jadi salah satu kunci penyelesaian
konflik RI-Belanda tetap ada pada Soekarno.[7]
Pada waktu pasukan
Belanda memasuki gedung negara pasukan pengawal presiden melakukan perlawanan.
Akan tetapi kemudian diperintahkan oleh Soekarno agar mereka tidak melawan.
Akhirnya, Belanda menawan Presiden, wakil Presiden, beberapa orang menteri dan
tokoh-tokoh politik seperti Sutan Syahrir, KI Hajar Dewantara, Nazir Pamuncak,
Moh. Rum, Assaat AG, Pringgodigdo, Komodor Suryadarma, komisaris besar polisi
Sumarno, dan Prof Dr Asikin Wijaya Kusuma. Pada tanggal 22 Desember 1948 Bung
Karno, Assaat, Hatta, Pringgodigdo, Komodor Suryadarma, Sutan Syahrir dan H.
Agus Salim menuju lapangan terbang Maguwo yang seterusnya diterbangkan ke
Bangka. Dua hari kemudian Moh. Rum dan Ali sastroamijoyo mendapat giliran dan
akhirnya tiba di Pasanggarahan Menumbing.
Bung Hatta mendapat
kunjungan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel yang menegaskan bahwa RI
telah hapus. Akan tetapi, Hatta menjawab bahwa RI tetap berwibawa meski
pemimpinnya dalam tawanan Belanda. Cochran, wakil KTN, juga mengunjunginya dan
mendapat jawaban dari Hatta bahwa meski pemimpinnya ditawan, TNI terus
bergerilya dan melakukan serangan balasan. Selain itu PDRI berfungsi selama RI
Yogyakarta nonaktif.
Bung Karno yang sejak
tanggal 22 Desember 1948 ditawan di Brastagi, tanggal 31 Desember dipindah ke
Prapat, tepi Danau Toba. Pada tanggal 6 Pebruari Bung Karno dan H. Agus Salim
tiba di Bangka. Dengan demikian, dengan hadirnya Bung Karno, Hatta, dan BFO
perundingan mengenai rencana pembentukan negara RIS dapat berlangsung dengan
baik.
Undangan kepada Bung
Karno untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dipercepat tanggal 12
Maret 1949 ditolaknya karena undangan itu tidak menyebut Presiden Republik
Indonesia, tetapi mengundangnya secara pribadi. Presiden RI mau menerima
undangan setelah pemerintah RI dipulihkan ke Yogyakarta dan menjalankan
wewenangnya sesuai dengan resolusi PBB tanggal 28 Januari 1949.
Dengan disepakatinya
Prinsip-pinsip Roem-Royen tersebut, Pemerintah Darurat RI di Sumatra
memerintahkan kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan
di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai politik yang
pertama kali menyatakan setuju dan menerima baik tercapainya persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi (Mr. Roem
adalah Pemimpin Masyumi). Dr. Sukiman selaku ketua umum Masjumi menyatakan
bahwa sikap yang diambil oleh delegasi RI adalah dengan melihat posisi RI di
dunia Internasional dan didalam negeri sendiri, apalagi dengan adanya sikap BFO
yang semakin menyatakan hasratnya untuk bekerja sama dengan RI.
Sebagai tindak lanjut
dari persetujuan Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni diadakan perundingan formal
antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB, dipimpin oleh
Critchley (Australia). Hasil perundingan itu adalah:
1. Pemgembalian
pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 juni 1949. Karesidenan
Yogyaakarta dikosongkan oleh Tentara Belanda dan pada tanggal 1 Juli 1949 dan
pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di
daerah itu.
2. Mengenai
penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan RI ke
Yogyakarta
3. Konferensi
meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.
Setelah para pemimpin
RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13 juli 1949, diadakan
sidang kabinet RI yang pertama. Dalam sidang kabinet diputuskan untuk
mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan dan
koordinator keamanan.
KMB kemudian diajukan
kepada KNIP untuk diratifikasi. KNIP yang bersidang pada tanggal 6 Desember
1949, berhasil menerima KMB dengan 226 pro lawan 62 kontra, dan 31 meninggalkan
sidang. Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden
RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Ir Soekarno terpilih sebagai Presiden
RIS pada tanggal 16 Desember 1949 dan pada tanggal 17 Desember (keesokan
harinya) Presiden RIS diambil Sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949 kabinet
RIS pertama di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta selaku Perdana Menteri, dilantik
oleh Presiden. Akhirnya pada 23 Desember delegasi RIS yang dipimpin oleh Drs.
Moh. Hatta berangkat ke Nederland untuk menandatangani akte “penyerahan”
kedaulatan RI dari pemerintah Belanda.
Tanggal
27 Desember 1949 baik di Indonesia maupun di Nederland diadakan upacara
penandatangan naskah “penyerahan” kedaulatan. Pada waktu yang sama di Jakarta
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota A.H.J Lovink dalam suatu
upacara, Sri Sultan membubuhkan tandatangannya pada naskah “penyerahan”
kedaulatan. Maka secara formal Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia dan
mengakui kedaulatan penuh Negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia
Belanda (kecuali Irian Jaya). Dengan demikian berakhirlah secara resmi Perang
Kemerdekaan Indonesia.
Dengan disetujuinya
hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949 di Den
Haag, maka terbukalah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari
16 Negara bagian dengan masing-masing mempunyai luas daerah dan Jumlah penduduk
yang berbeda. Diantara negara-negara bagian terpenting, selain Republik
Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan penduduk terbanyak, yaitu Negara
Sumatra timur, Negara Sumatra
Selatan, Negara Pasundan dan Negara
Indonesia Timur. Sebagai Presiden atau Kepala Negara yang pertama RIS Ir.
Soekarno, sedangkan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai perdana menteri yang
pertama.
Tokoh-tokoh yang
terkemuka yang duduk dalam kabinet ini antara lain dari pihak Republik Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Sopomo, dr.
Leiman, Arnold Mononutu, Ir. Herling Laoh, sedangkan dari BFO adalah Sultan
Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung. Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet (yang mengutamakan
keahlian dari anggota-anggotanya)
dan bukan kabinet Koalisi yang bersandarkan pada kekuatan partai-partai politik. Hanya ada dua orang yang menginginkan adanya sebuah negara federal yaitu Sultan Hamid II dan Anak Agung Gede Agung. Sehingga gerakan untuk
membubarkan sebuah negara nederal
dan membentuk sebuah negara kesataun semakin kuat.
Mengenai pembentukan
Negara Kesatuan
Republik Indonesia terbentuk, pemerintah
Negara Indonesia Timur dan pemerintah Negara Sumatra timur menyatakan
keinginannya untuk bergabung kembali kedalam wilayah Negara Kesatuan RI (NKRI). Kedua negara bagian tersebut
memberikan mandatnya kepada pemerintahan RIS guna mengadakan pembicaraan
mengenai pembentukan Negara Kesatuan dengan Pemerintah RI. Setelah pertimbangan
mengenai pokok-pokok pikiran tentang pembentukan negara kesatuan disetujui oleh
pemerintah RIS dan Pemerintah RI, maka realisasi pembentukan negara Kesatuan
terlaksana setelah di tandatanganinya Piagam persetujuan antara Pemerintah RIS
dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950. Kabinet RIS dibawah pimpinan Hatta
memerintahkan sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950. Pada hari itu RIS menjelma
menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia (RI). Dengan demikian negara federal
itu tidak sampai mencapai usia 1 tahun.
Kesepakatan
antara RIS dan RI (sebagai negara
bagian) untuk membentuk negara kesatuan, tercapai pada tanggal 19 Mei 1950.
Setelah selama kurang-lebih 2 bulan bekerja, panitia Gabungan RIS-RI yang
bertugas merancang UUD Negara Kesatuan menyelesaikan tugasnya pada tanggal 20
Juli 1950. Kemudian setelah diadakan pembahasan dimasing-masing DPR, rancangan
UUD negara kesatuan diterima, baik oleh senat dan parlemen RIS maupun oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Pada tanggal 15 Agustus 1950 presiden menandatangani rancangan UUD tersebut
yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Sementera Republik Indonesia
1950 (UUDS 1950). UUDS ini mengadung unsur-unsur dari UUD 45 maupun dari
konstitusi RIS. Menurut UUDS 1950 kekuasaan legislatif di pegang oleh Presiden,
kabinet dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang
darurat atau peraturan pemerintah, walaupun kemudian perlu juga disetujui oleh
DPR pada sidang berikutnya. Presiden juga dapat mengeluarkan dekritnya kalau di
perlukan.
B. Penyimpangan-penyimpangan terhadap
Pancasila di Era Orde Lama termasuk klarifikasi G30S/PKI
Dari tahun 1950 sampai
tahun 1955 terdapat 4 kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun
terdapat pergantian kabinet. Kabinet-kabinet tersebut secara berturut-turut
yaitu Kabinet Natsir
(September 1950- Maret 1951), kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952),
Kabinet Wilopo (April 1952-1953) dan Kabinet
Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-1955). Dapat digambarkan, bahwa dalam waktu
rata-rata satu tahun itu, tidak ada kabinet yang dapat melaksanankan
programnya, karena parlemennya terlalu sering menjatuhkan kabinet bila kelompok
oposisi kuat. Bahkan pernah terjadi partai-pemerintah menjatuhkan kabinetnya
sendiri. Boleh dikatakan bahwa semua kabinet, termasuk yang resminya bersifat Zaken Kabinet (yang mengutamakan
keahlian dari Anggota-anggotanya), didukung oleh koalisi diantara berbagai
partai. Juga pihak oposisi komposisnya dapat berubah-ubah. Inilah yang
menyebabkan berkecamuknya istabilitas politik.
Hari-hari politik
Indonesia, terutama pada 1950-an dan 1960-an, adalah hari-hari yang dipenuhi
gejolak. Dinamika politik ditingkat nasional, setidaknya menggambarkan hal itu.
Praktik demokrasi parlementer setelah kemerdekaan, dan terutama setelah pemilu
1955 ditandai oleh adanya sebuah sikap Jor-joran
antar kekuatan politik yang bernuansa ideologis. Salah satu dampaknya adalah
tergantungnya praktik penyelenggaraan pemerintah secara kuat dan efektif.
Kabinet-kabinet pemerintahan
Jatuh bangun dalam waktu yang singkat. Persaingan ideology politik aliran
demikian atraktif juga berimbas dalam dinamika kehidupan politik sehari-hari.
Pasca pemilu 1955, kekuatan-kekuatan politik Indonesia semakin jelas, yakni PNI
(partai nasional Indonesia), Masyumi, NU (Nahdlatul Ulama), dan PKI (partai
Komunis Indonesia)yang merupakan empat besar dengan perolehan suara
masing-masing 8.434.653 (22,3 %), 7.903.886 (20,9%), 6.955.141 (18,4%), dan
6.179.914(16,4%).
Selain kekuatan empat
besar tersebut, terdapat beberapa partai lain yang berada pada level perolehan
suara menengah, dapat disebut antara lain: PSII (partai Syarikat Islam
Indonesia). Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai katolik, PSI (partai
Sosialis Indonesia), Perti (aprtai Tarbiyah Islamiyah), dan IPKI (ikatan
pendukung Kemerdekaan Indonesia). Diluar partai-partai politik, angkatan
bersenjata khususnya Angkatan Darat merupakan kekuatan politik anti-Komunis,
yang tidak dapat dimungkiri tampil sebagai kekuatan politik pengimbang yang
efektif.
Kabinet yang terbentuk
pasca-pemilu 1955 melanjutkan kabinet-kabinet parlementer sebelumnya. Ketika
pemilu usai, kabinet Boerhanoeddin harahap (1955-1956), segera digantikan Ali
Sastroamidjojo (1956-1957), Djuanda (1957-1959) dan setelah dekrit Presiden 5
Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja (1959-1964) dan Kabinet Dwikora (1964-1966).
Dilihat dari durasi pemerintahan, kabinet-kabinet
demokrasi parlementer
rata-rata berjalan secara singkat. Kabinet
bangun dan jatuh seirama dengan dinamika politik. Dan, dalam perkembangannya,
jatuhnya pemerintahan demokrasi liberal pada 14 Maret 1957 membuka jalan bagi
penerapan gagasan-gagasan Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin. Bahwa Soekarno membayangkan suatu jenis rezim
korporatis yang didasarkan pada asas-asas tradisional gotong-royong dan
musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagai strategi yang Sekaorno yakini dan
paling efektif untuk memobilisasikan dukungan rakyat. Atas gagasan itu,
seokarno mengusulkan pembentukan kabinet gotong-royong yang meliputi semua partai
politik dan suatu dewan nasional yang terdiri dari para wakil kelompok
fungsional, daerah dan anggota Ex-officid
seperti para kepala staf ABRI, kepala kepolisian, Jaksa Agung dan
menteri-menteri penting tertentu. Badan ini diketuai oleh Presiden.
Konsepsi tersebut
didukung oleh golongan komunis (PKI) dan nasionalis (PNI), tetapi ditolak oleh
Masyumi, sementara partai-partai lain mengambil sikap menanti dan melihat
perkembangan. Karena gagasan itu merupakan pengakuan terhadap hak militer akan
perwakilan politik, maka pimpinan Angkatan Darat mendukung pembentukan dewan
Nasional, tetapi tidak mendukung kabinet yang didalamnya terdapat politisi
Komunis.
Agenda kerja pertama
Dewan Nasional mencakup rencana-rencana mendirikan suatu dewan perencanaan
nasional, parlemen baru yang terutama terdiri dari kelompok-kelompok fungsional
non partai dan suatu system kepartaian baru, yang diarahkan menjadi system
partai tunggal. Dalam mencari suatu basis konstitusional yang kuat untuk
melancarkan perubahan politik radikal seperti itu, kepala Staf Angkatan darat
Jenderal A.H. Nasution meminta dewan Nasional untuk mendesak Dewan Konstituante
agar kembali ke UUD 1945. Ditengah kegagalan Dewan Konstituante, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang didukung oleh Angkatan darat dan
beberapa partai politik.
Manuver politik
Soekarno yang didukung militer (AD) tersebut efektif mengakhiri era demokrasi
parlementer. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dibacakan dalam upacara resmi di
Istana Merdeka tersebut, intinya adalah, pembubaran Badan Konstituante, pemberlakuan kembali
UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Langkah Soekarno untuk mengembalikan
UUD 1945 dipandang sebagai terobosan sejarah, namun Soekarno segera memunculkan
sejumlah konsekuensi. Yang menjadi persoalan utama adalah ketika Soekarno
sebagai Panglima Besar
Revolusi dipandang tidak konsisten dengan Implementasi Pancasila dan UUD 1945,
ketika seorang Soekarno mempraktikkan berbagai kebijakan yang tidak demokratis.
Banyak tokoh-tokoh
politik yang ditahan pada masa ini karena berseberangan dengan arus utama
Demokrasi Terpimpin. Kendatipun demikian, dekrit itu merupakan sebuah fakta
sejarah yang kehadirannya tidak semata-mata merupakan puncak kekesalan Soekarno
terhadap partai-partai politik, tetapi juga merupakan bagian dari scenario
politik yang lebih besar dalam mengimplementasikan eksperimen Demokrasi
terpimpin. Sehingga pada peringatan Hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, presiden
Soekarno menyampaikan pidatonya “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Isi pidato itu
kemudian mendasari Manipol USDEK, sebagai singkatan Manifestasi Politik UUD
1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin Ekonomi Terpimpin dan
Kepribadian Nasional. Menurut Soekarno, Manipol USDEK ini merupakan intisari
dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.
Pada Maret 1960,
Soekarno membekukan keanggotaan parlemen yang keanggotannya berdasarkan
komposisi hasil Pemilu 1955, dan memperbarui komposisi parlemen yang disebutnya
sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR). Langkah politik Sukarno
ini memperoleh penolakan dari partai-partai politik yang kemudian membentuk
liga Demokrasi. Kelompok ini terdiri dari para politisi Masyumi, IPKI,
Parkindo, Partai Katholik, dan PSI. Tandingan dari Liga Demokrasi ialah Liga
Muslimin, yang didukung NU, PSII dan Perti yang akomodatif terhadap garis
Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Walaupun demikian, beberapa tokoh NU yakin KH.
A. Dahlan dan Imron Rosyadi, justru bergabung dalam Liga Demokrasi walaupun tidak membuat
sikap politik NU berubah. Pada bulan Agustus 1960, Soekarno membubarkan Masyumi
dan PSI, serta menyerderhanakan sistem
kepartaian dengan mengakui
hanya sepuluh partai politik saja. mengenai pembubaran Masyumi, keputusan
“membubarkan Partai Politik Masyumi, Termasuk bagian-bagian/
cabang-cabang/ranting-ranting diseluruh wilayah negara Republik Indonesia”
tampak dari alasan yang disebutkan pada butir menimbang, pada keputusan
presiden Republik Indonesia Nomor 200 tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960.
Ini menjadi sebuah
gambaran bagaimana setelah Dekrit
5 Juli 1959, kekuatan-kekuatan politik yang menonjol dipentas nasional
direpresentasikan oleh kekuatan-kekuatan politik NASAKOM. Kekuatan politik
nasionalis direpresentasikan oleh PNI, agama oleh NU, dan Komunis oleh PKI.
Sehingga Demokrasi terpimpin memposisikan Soekarno sebagai titik pusat
kekuasaan. Soekarno sebagai presiden bukan hanya sebagai symbol. Kekuatan
politiknya jauh melampaui seorang presiden dimasa normal. Dari adanya demokrasi
terpimpin ini kekuatan militer dan PKI saling berebut pengaruh terhadap
kepemimpinan Soekarno. Karena apa yang menjadi kebijakan eksperimen politik
Soekarno terkait NASAKOM merupakan eksperimen politik yang mencoba menyatukan
antara kekuatan non-komunis melawan komunis. Ini sesungguhnya sangat beresiko,
tidak saja bagi Soekarno tetapi juga bagi masa depan bangsa Indonesia.
Dengan kebijakan yang
dibuat Soekarno, PKI mendapatkan angin segar karena PKI merupakan representasi
kekuatan politik Komunis di Indonesia, yang mengalami pertumbuhan politik yang
fenomenal pada decade 1950-an. Catatan sejarahnya yang kelam dalam
pemberontakan 1948 di Madiun, tidak membuat partai yang kemudian dikendalikan
oleh DN Aidit ini tampil sebagai kekuatan politik keempat merujuk pada hasil
pemilu 1955. Aidit mengembangkan srategi “jalan damai” menuju kekuasaan, yakni
bekerja sesuai dengan system parlemen liberal dan turut serta dalam pemilu.
Kemampuan pimpinan PKI dan Kecondongan Soekarno terhadapnyalah yang antara lain
menjadi faktor
penting yang memungkinkan PKI membangun basis massa pendukung yang kuat dan
menjadi salah satu dari empat besar sistem
kepartaian Indonesia pasca-Pemilu 1955. Setelah besar, Strategi “jalan damai”
bergeser ke tindakan-tindakan politik yang radikal, terutama setelah Soekarno
mencabut UU Darurat pada 1963.
Kekuatan politik PKI
diimbangi dengan kekuatan militer yang pamornya meningkat sejak keberhasilannya
menumpas beberapa pemberontakan di daerah pada akhir decade 1950-an, Angkatan
darat merupakan kekuatan yang dituntut untuk pandai beradu strategi dengan
komunis yang memanfaatkan ekksperimen politik pada saat itu. Karenanya, Ketika
PKI dengan dukungan Perdana Menteri China Zhou Enlai mendesak “angkatan lima”,
AD berusaha keras untuk menolak dengan konsep tersebut. PKI juga mendesak
gagasan “Nasakomisasi Angkatan Darat”. Namun pada Mei 1965, Ahmad Yani bertemu
dengan Soekarno uantuk membahas Nasakomisasi Angkatan Darat, dengan pernyataan
Ahmad Yani yang mampu meyakinkan Soekarno bahwa gagasan Nasakom sama dengan
semangat persatuan yang menghubungkan Nasionalisme, agama, dan Komunisme, bukan
Suatu struktur formal yang akan dapat memberikan PKI peranan dalam
urusan-urusan Angkatan Darat.
Dari persaingan politik
yang dilakukan oleh PKI dan Angkatan Darat inilah yang nantinya memunculkan
sebuah gejolak politik yang berimbas pada ketegangan dan nantinya memunculkan
persaingan untuk berebut sebuah kekuasaan Eksekutif yang berimabas pada sebuah
peristiwa tragedi kemanusiaan yang dimunculkan dengan peristiwa G 30 S pada tahun 1965 yang ini memunculkan sebuah
perdebatan terkait peristiwa tersebut.
C.
Proses
Jatuhnya Kekuasaan Orde Lama
Tahun 1966 menjadi simalakama bagi pemerintahan Orde
Lama. Siapa sangka, si Bung Revolusi yang sangat haqqul yaqqin dengan segala kepribadiannya harus tumbang dari kursi kepresidenan.
Padahal MPRS telah melantiknya menjadi presiden seumur hidup. Politik yang ia
agungkan sebagai panglima malah menyeretnya ke ruang isolasi zaman. Ia
teralienasi bersama ideologinya. Kebalikannya, 1966 bagi Mayor Jendral Soeharto seperti mendapat durian runtuh.
Karirnya langsung meroket bersamaan dengan pangkatnya yang berbuah purna
Jendral penuh dan diangkat sebagai pejabat presiden. Peran sentralnya dalam
memulihkan stabilitas sosial politik pasca tragedi G-30-S, kemudian menjadikan
Supersemar sebagai surat “pengalihan kekuasaan”, menjadikan pemuda Kemusuk,
Bantul ini mantap berada dalam trek kepemimpinan RI-1.
Tanpa ragu, Soeharto mengambil tindakan kontroversi. Ia
langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan segera-tanpa menghiraukan protes
Presiden Soekarno-menangkap sekitar 12 menteri Kabinet 100 Menteri.[8]
sejak tanggal itu jalannya pemerintahan kekuasaan efektif berada di tangan
Soeharto. Praktis, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia militer mulai
memegang dan mendominasi tampuk kekuasaan. Setidaknya untuk 32 tahun ke depan.
Bahkan sampai sekarang, presiden berdarah militer masih menjadi pilihan rakyat
ketimbang sipil.
Soekarno meradang. Ia sangat kecewa dengan tindakan
Soeharto yang salah menafsirkan SP-11-Maret. Dalam pidato HUT RI 17-8-1966,
Soekarno berkali-kali menakankan bahwa SP-11-Maret adalah suatu perintah
pengamanan; jalannya pemerintahan, keselamatan pribadi presiden, wibawa
presiden dan ajaran presiden. Bukan suatu penyerahan pemerintahan (transfer of authority). Jelas, dalam
pidato terakhirnya sebagai presiden di hari kemerdekaan RI tersebut, Ia juga
mengutuk Gestok.[9]
Supersemar seakan menjadi sebuah blunder bagi Soekarno.
Sepucuk surat yang mengakhiri karir politiknya sebagai seorang Presiden. Revolusi
yang menjadi kata azimat, pun harus kandas di tengah jalan. Sepucuk surat yang
mengantarkan seorang anak petani menjadi seorang presiden, mengawali sebuah
orde (baca: rezim) baru pemerintahan. The
gret leader sipil, Bung Karno, harus legowo menyerahkan
nakhoda kepemimpin NKRI kepada the
smilling general.
Tabiat sejarah selalu memunculkan kontroversi. Senada,
sepucuk surat itu pun sampai sekarang masih menjadi sebuah kontroversi.
Sebagaimana kita tahu, Surat perintah 11 Maret adalah basis legitimasi orde
baru, tetapi sekaligus titik kontroversi dari fakta yang belum
tuntas. Fakta yang superlatif justru membuat orang
mempertanyakan kebenarannya. Sebab, antara fakta yang
diciptakan dengan kenyataan yang bisa diuji kebenarannya,
justru saling tolak.[10]
Supersemar dan legitimasi kekuasaan
Soeharto
Seusai terjadinya tragedi 1965, sebagai salah satu
perwira senior pasca wafatnya ketujuh jendral dalam peristiwa tersebut,
Soeharto mengambil langkah-langkah strategis dalam mengamankan kondisi kemanan
di Ibu Kota. Langkah pertama yang diambilnya adalah mengambil alih kepemimpinan
dalam Angkatan Darat yang kosong selepas wafatnya Jendral Ahmad Yani. Padahal
presiden Soekarno telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat
Mayjen Pranoto Resosamudro sebagai caretaker.
Ia juga mengambil alih peranan Panglima Tertinggi ABRI dari Presiden Soekarno.
Dan, secara sepihak, ia memberlakukan
keadaan darurat.[11]
Langkah Mayjen Soeharto yang paling efektif adalah
memonopoli media massa, sehingga ia dengan leluasa dapat membentuk opini (public opinian) sesuai yang
dikehendakinya. Suatu langkah yang kemudian terus dilanjutnya selama memerintah
negara ini lebih dari 31 tahun.[12]
Mengetahui secara de
facto bahwa ia sudah mengandalikan pasukan ABRI, Soekarno mengangkatnya sebagai
Panglima Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).
Bahkan ia mengangkat Soeharto menjadi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat,
setelah Mayjen Pranoto Resosamudro dijebloskan kepenjara karena dituduh
terlibat G30S.
Soekarno bak tikus yang tersudutkan akibat aksi Soeharto.
Semua serba dilematis. Gelombang aksi demonstran yang turun ke jalan, bahkan
sampai menduduki Istana Merdeka, semakin tidak terkendali. Mereka mendesak
Soekarno untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membersihkan
kabinet Dwikora dari antek-antek PKI. Namun, idealisme Soekarno tidak bisa
digertak.
Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966, Bung Karno
memperoleh laporan, bahwa Istana telah dikepung oleh para demonstran, disertai “pasukan liar” yang tidak
berseragam. Bung Karno kemudian diterbangkan menggunakan helikopter ke Istana
Bogor. Sementara Pak Harto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat yang waktu itu tidak menghadiri sidang
kabinet karena sakit, kemudian mengutus Mayjen. Basuki Rachmat, Brigjen M.
Yusuf dan Brigjen. Amirmachmud. Kepada ketiga jendral itu, Pak Harto
menyampaikan pesan, seandainya ia masih dipercayai, agar Bung Karno menyerahkan pemulihan ketertiban dan
keamanan kepada dirinya. Pesan itu disampaikan kepada Bung Karno di Istana
Bogor, dan terjadilah proses penyusunan surat perintah, yang konon tidak mudah,
meskipun akhirnya keluar naskah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret.[13]
Setelah
Supersemar dalam genggaman Suharto, maka dia tidak menyia-nyiakan kesempatan
tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membubarkan PKI dan
menyatakan bahwa organisasi PKI adalah organisasi yang terlarang pada tanggal
12 Maret 1966.
Langkah Suharto membuat geram Presiden
Sukarno. Dia menyatakan bahwa seharusnya Suharto tidak bertindak terlalu jauh dari wewenang yang diembannya.
Akhirnya Presiden Sukarno memanggil Suharto untuk dimintai pertanggungjawabanya
mengenai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Suharto. Namun dengan
alasan masih menderita sakit flu, Letjend. Suharto tidak memenuhi panggilan
Presiden Sukarno untuk datang ke Istana Bogor.
Wakil Perdana
Menteri III Chaerul Saleh membacakan perintah tertulis bahwa Presiden Sukarno
menegaskan Surat Perintah Sebelas Maret tidak berarti penyerahan kekuasaan oleh
Presiden kepada Suharto. Siaran warta berita RRI pusat dimulai dengan
pengumuman dari Istana
Merdeka. Waperdam III Chaerul Saleh tampil di depan corong, membacakan
pengumuman presiden nomor 1/Pres/66 yang menyatakan penyesalan sebesar-besarnya
karena masih ada sikap dan usaha dari sebagian anggota masyarakat untuk
memaksakan kehendak. Terlebih-lebih dilakukan secara ultimatif kepada presiden
dan kepada para menteri yang sedang bertugas membantu kepala negara.[14]
Ironisnya, pada tanggal 18 Maret 1966 Suharto
menangkap 15 anggota Kabinet Dwikora yang terindikasi terlibat dalam
organisasi PKI,
termasuk di dalamnya Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. seluruh kabinet
Dwikora digantikan oleh anggota-anggota baru yang pro Suharto. Hal yang sama dilakukan pula kepada para anggota MPRS,
Jenderal AH. Nasution yang bersitegang dengan Soekarno[15]
duduk sebagai ketua MPRS.
Sidang Umum (SU) MPRS kemudian digelar pada tanggal 20
Juni sampai 6 Juli di Istora Senayan. Beberapa keputusan yang dihasilkan dari
Sidang Umum tersebut yaitu: mencabut gelar Soekarno sebagai presiden seumur
hidup, ditolaknya pidato pertanggungjawaban Seokarno sebagai presiden, dan yang
terpenting adalah dikukuhkannya Supersemar sebagai Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966. Pengukuhan Supersemar menjadi Tap MPRS yang punya kekuatan sangat
kuat, menutup peluang Soekarno untuk mencabutnya kembali. MPRS memberikan
mandat kepada pengemban SP 11 Maret, untuk membentuk kabinet baru. Tanggal 25
Juli 1996, Kabinet Ampera dibentuk dengan Jenderal Suharto sebagai ketua
presidium. Seupersemar menjadi titik tolak balik yang mengakhiri dualisme
kekuasaan antara Soekarno dan Soeharto.
Kesimpulan
Pemaparan diatas
menunjukkan bahwa Penafsiran dan Pelaksanaan Pancasila pada masa Orde Lama
tidak terlepas dari situasi politik pada masa itu. Sebagai negara yang baru
lahir, Pancasila sudah langsung mengalami introdusir secara keliru oleh rezim
yang berkuasa. Penyimpangan banyak terjadi selama masa Orde Lama yang
dinahkodai oleh Presiden Soekarno. Diantaranya pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mendekritkan kembali UUD 1945. Pada masa itu Presiden
Soekarno menyampaikan konsep yang disebut Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan
pada UUD 1945 dan dijiwai Pancasila ini menjanjikan ia seorang yang otoriter.
Selain itu Bung
Karno mengembangkan konsep NASAKOM (Nasional, Agama, Komunis). Nasakom dianggap
sebagai cara paling tepat untuk mempersatukan bangsa. tidak semua orang setuju
adalah tidak mungkin mempersatukan kaum komunis yang tidak mempercayai adanya
Tuhan dengan Umat beragama. Dalam menjalankan ide politiknya itu, Sokearno
menggandeng PKI. PKI pun memanfaatkan kebijaksanaan presiden Soekarno dalam
menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. PKI memasukkan ideologinya
dalam garis-garis besaar haluan negara (GBHN) yang dihasilkan oleh MPRS.
PKI menteror
serta menjatuhkan setiap lawan politiknya. Puncaknya pada tahun 1965 PKI
melakukan pemberontakan dengan melakukan penculikan terhadap para
pejabat-pejabat teras TNI AD yang dianggap PKI sebagai penghalang rencana mereka
untuk merebut kekuasaan. Rakyat yang tergabung dalam Front Pancasila tidak puas
atas ketidaktegasan pemerintah terhadap G-30-S/PKI. Presiden Soekarno juga
menilai G-30-S/Pki adalah suatu perbuatan makar . jika tidaksegera menhukum PKI
akibatnya aksi0aksi rakyat semakin meningkat. Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI),
KAPI dan KAPPI menyampaikan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu bubarkan PKI,
Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI dan turunkan harga.
Pada tanggal 11
Maret 1966 aksi-aksi demonstrasi mencapai puncaknya, Presiden Soekarno
memberikan Surat Perintaah Sebelas Maret (SUPERSEMAR kepada LetJend. Soeharto
dan memerintahkan kepadanya untuk mengambil tindakan yang perlu, guna terjamin
keamanan serta kestabilan jalannya pemerintahan untuk sementara dengan lahirnya
Orde Baru. Pada tanggal 12 Maret 1966 LetJend. Soeharto membubarkan PKI dan
Ormas-Ormsnya dan dinyatakan sebagai Partai Terlarang di Indonesia.Kekuasaan
Soekarno mulai jatuh setelah laporan pertanggungjawaban G-30-S/PKI ditolak oleh
MPRS dan pada tahun 1966 atas ketetapan Sidang Umum ke IV MPRS agar Soeharto
membentuk Kabinet Ampera ini menyebabkan adanya Dwifungsi kepemerintahan
Soekarno dan Soeharto. Pada sidang istimewa MPRS, tanggal 12 Maret 1967,
Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden dan memberhentikan dengan hormat
Presiden Soekarno dari jabatannya dan pada tahun 1978, tanggal 27 Maret secara
aklamasi MPRS menetapkan Soeharto sebagai Presiden.
Sebagai kalimat
penutup, penulis mencoba berada posisi netral. Dalam artian, kami bukan bermaksud
‘mengutuk’ pemerintahan Orde Lama dengan berbagai penyimpangan yang
dilakukannya terhadap Pancasila, tetapi mencuba menarik suatu nilai (values) penting untuk dijadikan hikmah
dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pembelajaran sejarah di sekolah.
Senada yang dikatakan Bung Karno “buang abunya, ambil apinya”. Nilai itu
terdapat pada sosok Soekarno sendiri
yang merupakan tokoh dengan berjuta polemik,
di tahun 1945 ia adalah seorang pejuang tetapi di tahun 1950an keatas ia malah
termakan oleh kekuasaan. Tapi patut diteladani sebagai nasionalisme Indonesia. Tak
dipungkiri lagi, Soekarno merupakan manusia yang kompleks, unik dan brilian
dalam ide gagasannya. Bapak Bangsa yang sulit ditebak jalan pikirannya, penuh
dengan sinkretisme ideologi, tetapi dibalik itu semua beliau hanya mengingankan
Persatuan dan kesatuan Bangsanya. Dan Pancasila, merupakan salah satu dari
sumbangsihnya untuk bangsa Indonesia tercinta.
Daftar Pustaka
Frans Magnis-Suseno SJ, “45
Tahun Supersemar”. Kompas,
Jumat 11 Maret 2011.
James Luhulima, “Peristiwa
G30S “Titik Balik” Soekarno”, dalam Dialog Dengan Sejarah, Soekarno Seratus
Tahun, (Jakarta: PB. Kompas, 2001).
Julius Pour, Gerakan
30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang, Jakarta: Kompas, 2010,
Herbert Feith
dan Lance Castles. 1988. Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto.1993. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Rumekso Setyadi. “Membaca
Sejarah secara Terbalik”. Kompas, Sabtu, 27 September
2008.
Soekarno, Nasionalisme, Islamisme Dan
Marxisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012
Sulastomo, Hari-Hari
Yang Panjang Transisi Orde Lama Ke Orde Baru (Sebuah Memoar), (Jakarta: PB.
Kompas, 2008).
Suhartono W.
Pranoto. Sultan Hamengkubuwana. Yogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar