SINOPSIS FILM
DOKUMENTER
Pelaksana : Magister
Pandawa Documentary (MPD)
1.
PimPro :
Yoga Saktiarsa/S861402050;
2.
Editor :
Tb. Umar Syarif Hadiwibowo/ S861402046;
3.
Camera :
Edwin Mirza Chaerulsyah/ S861402017;
4.
Script :
Muhammad Haikal/ S861402008;
5.
Transport : Bayu Prasetyo Jati/ S861402009.
Mata
Kuliah : Media
dan Desain Pembelajaran
Tahun
Produksi : 2014
Format : Digital
Full HD
Durasi : 13
Menit
Judul:
Harmonisasi Sosial Dalam Pasar Gede
Premise
Interaksi budaya yang berlangsung di Pasar
Gede adalah salah satu potensi untuk membangun nilai-nilai harmonisasi dalam
kehidupan sosial masyarakat di Kota Surakarta.
Sinopsis
Film
dokumenter ini menceritakan tentang harmonisasi sosial yang terdapat di dalam
Pasar Gede yang menjadi simbol perekonomian rakyat khususnya di Kota Surakarta.
Wujud harmonisasi sosial tersebut tercermin dalam beberapa aspek yang
terkandung di dalamnya, diantaranya sejarah; sosial; ekonomi; dan budaya. Seperti
dalam aspek sejarah, nilai harmonisasi sosial itu tersirat dalam segi bangunan
pasar bergaya Indis dimana tidak terlepas dari pengaruh Eropa. Beberapa aspek
tersebut dan contoh dalam kehidupan keseharian di Pasar Gede menjadi hal yang
menarik ketika divisualisasikan melalui film dokumenter dimana harmonisasi sosial
menjadi pesan moral untuk dilestarikan dan dikembangkan dalam dunia pendidikan,
khususnya pada siswa/i sekolah menengah atas (SMA).
Dalam
Film Dokumenter ini ditampilkan gambar-gambar dan video yang mendukung judul
diatas. Kemudian dihadirkan narasi yang dibawakan dari salah satu anggota
kelompok kami.
Narasi
Keberadaan Pasar Gede di Kota
Surakarta tidak terlepas dari kepindahan pusat kota kerajaan
Mataram Kartasura beserta Kratonnya ke desa Solo. Kepindahan ibu kota Kerajaan Mataram diakibatkan peristiwa
yang disebut “Geger Pacinan”. Pemberontakan
tersebut mengakibatkan kepindahan keraton dari Kartasura ke dusun Solo yang bertepatan pada hari raya Budha,
di pagi hari Rabu tanggal 17 Sura tahun Je 1670.
Perpindahan Kraton diikuti juga
dengan perpindahan pusat perekonomian, yaitu pasar. Dalam perkembangannya Pasar Gede memilki kesejarahan yang mana pasar Gede dibangun
pada masa pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939), yang diarsiteki oleh Thomas Karsten. Pernah diperbaiki pada
tahun 1927, kemudian diberi nama Pasar Gede Hardjanagara. Dalam Struktur utama
dari Pasar Gede terlihat rangka baja jelas pada kolom dan balok dibagian ruang
dalam. Bagian luar dinding batu bata dengan pembukaan bidang transparan (kawat kasa) dan rooster.
( Statement ) “Penampilan bangunan merupakan persenyewaan
antara haromisasi bentuk kolonial (dinding tebal, kolom-kolom yang besar/
tegas, skala bangunan) dengan konsep tradisional. Penutup atap bentuk mirip
joglo dan limasan dari bahan sirap, kanopi lebar. Bentuk bentuk lengkung
terlihat pada penyelesaian overtek dan jendela/ penerangan yang berbentuk
lengkung. Ciri khas bangunan pasar Gede dapat dilihat pada interior bangunan,
dengan struktur benteng lebar dan panjang.”
Salah
satu sisi keunikan terdapat pada toponim (asal usul nama) Pasar Gede. Disebut Pasar Gede (Peken Ageng)
karena merupakan pasar yang terdiri dari banyak los yang besar-besar. Pasar ini
dibuka setiap hari (tidak mengenal hari pasaran). Pasar Gede merupakan bangunan
berlantai dua. Pada beberapa bagian bangunan terdapat beranda. Pintu masuk
utama bangunan pada bangunan utama dengan tinggi bangunan yang berbeda.”
( Statement
) Keunikan lainnya tercermin dari lokasi Pasar Gede yang terletak di
tengah-tengah Kampung Pacinan. Dari letak itu terjadi persinggungan ekonomi
yang berjalan harmonis. Dimana aktivitas perdagangan yang bersumber dari sebuah
produk pertanian dan non pertanian dari berbagai wilayah pedesaan dan wilayah
pegunungan yang kaya akan aktifitas pertanian horikultural. Secara tidak
langsung pasar Gede memberikan sebuah cerita menarik relasi sosial yang
egaliter, anti-dominasi antara penjual dan pembeli.
Pedagang yang berjualan di Pasar Gede merupakan
pedagang dari etnis Cina maupun Jawa. Pedagang yang berjualan di Pasar Gede merupakan
pedagang yang sudah ada sejak lama. Untuk mengakomodir dan melindungi
hak-haknya dalam kegiatan ekonomi pedagang mendirikan paguyuban pedagang,
seperti Paguyuban pedagang, paguyuban tukang
becak, paguyuban seni (tari, karawitan, kesenian cina). Paguyuban-paguyuban di
Pasar Gede muncul karena kesamaan nasib yang dialami oleh kelompok-kelompok
tertentu. Misalnya para pedagang pasar yang membentuk paguyuban pedagang untuk
melindungi hak-hak pedagang di Pasar Gede dan sarana penampung aspirasi serta pengelolaan
sumber daya manusia dari pedagang di Pasar Gede. Munculnya paguyuban-paguyuban
tersebut dapat menjadi kekuatan tersendiri untuk tetap mempertahankan
keberadaan Pasar Gede sebagai pasar tradisional.
Interaksi antara pedagang dengan
pembeli di Pasar Gede terjalin dengan baik saat aktivitas transaksi misalnya
tawar menawar. Banyak dari pembeli yang memang sudah menjadi pelanggan tetap
pedagang di Pasar Gede. Kondisi tersebut dapat menumbuhkan sikap saling
menguntungkan dan bergantung antara penjual dengan pembeli. Sehingga transaksi
yang berlangsung dapat dan sudah menjadi kebiasaan. Pasar Gede memiliki luas
area sekitar 10.421 hektar. Dalam kapasitas ini cukup untuk menampung ratusan
pedagang. Selain itu dapat memberikan alokasi khusus bagi penyediaan lapangan
pekerjaan bagi para pedagang.
( Statement
) Pasar Gede merupakan pasar tradisional terbesar di Kota Solo,
ditambah dengan keberadaan kampong cina di sekitarnya membuat area Pasar Gede
sering diadakan festival budaya seperti tumpengan, imlek, dll. Pada hari dan
jam tertentu, di dalam Pasar Gede terdapat latihan tari maupun kawarawitan yang
dilakukan oleh para pedagang namun saat ini kondisinya kurang dapat berjalan
dengan baik. Perayaan budaya yang sering
terselenggara dapat menjadi salah satu daya tarik wisata di Pasar Gede. Selain
itu hal tersebut dapat mencitrakan area Pasar Gede sebagai salah satu Land Mark di Kota Solo.
Pasar Gede memiliki potensi
besar dalam membangun dan menumbuhkan harmonisasi sosial lewat berbagai aspek,
baik itu sejarah; sosial; ekonomi maupun budaya. Sehingga keberadaannya patut
dilestarikan dan terus dikembangkan di tengah gempuran arus kapitalisme pasar
bebas yang menghadirkan swalayan-swalayan yang semakin mengancam ekonomi
berbasis kerakyatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar