counter

Sabtu, 17 Januari 2015

PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA

Bab I
Pendahuluan

  1. Latar Belakang
Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari sebuah periodesasi dalam pemerintahan bangsa ini. Berdirinya negara Indonesia tidak lepas dalam ingatan kita dengan peran sebuah periode pemerintahan yang pada saat itu bernama pemerintah orde lama, pada pemerintahan orde lama ini kita bisa mengenal siapa yang memimpin bangsa pada saat itu yaitu Soekarno, melihat sepak terjang dan gaya kepemimpinan memberikan sebuah gambaran nantinnya peran Soekarno dalam masa kepemimpinan bangsa ini yang memiliki sebuah power (kekuatan) dalam menjalankan roda pemerintahan pada masa orde lama. Disamping itu juga pada masa orde lama ini perlu diingat bahwa negara dalam kondisi transisi, setelah Indonesia keluar dari penjajahan bangsa asing.
Kondisi tersebut memberikan dampak pada implementasi kebijakan nantinya pada masa pemerintahan orde lama ini untuk bisa mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang pada saat itu para penjajah menginginkan kembali untuk menjajah negara Indonesia.  Sehingga memberikan gambaran bagaimana pada masa pemerintahan orde lama ini terjadi sebuah pemerintahan yang jatuh bangun seirama dengan dinamika sosial politik yang berkembang pada saat itu. Melihat situasi dinamika sosial politik pada masa orde lama yang terjadi baik eksternal maupun internal negara memberikan gambaran bahwa bagaimana proses dinamika yang terjadi untuk bisa keluar dari permasalahan bangsa yang penuh dengan gejolak pada saat itu.
 Pada saat itu memang situasi dunia dalam masa pemuliahan dari perang asia pasifik, disamping itu juga perkembangan paham ideologi yang berkembang diantaranya, faham kapitalis, liberalisme, komunis, dan sosialis yang berkembang di negara barat, sehingga memberikan sebuah dampak dan pengaruh besar terhadap dinamika sosial politik di seluruh dunia. Dampak itu berpengaruh besar terhadap keadaan dinamika  perpolitikan di Indonesia, dikarenakan negara-negara yang memiliki faham, baik faham kapitalis maupun komunis memiliki peran dalam memperebutkan pengaruh di negara-negara berkembang diantaranya negara Indonesia.
 Dalam kondisi awal setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, kondisi Indonesia pada saat itu belum memiliki seorang presiden negara sehingga kesibukan selanjutnya adalah menyusun tatanan mengenai kehidupan kenegaraan. Lewat usulan Oto Iskandardinata pemilihan presiden secara aklamasi. Secara tidak langsung Oto Iskandardinata mengusulkan nama Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia sehingga berangkat dari pemilihan presiden dan wakil presiden secara aklamasi ini pada tanggal 18 Agustus 1945 secara resmi Negara Indonesia memiliki presiden dan wakil presiden yang sah[1].
Setelah terpilihnya Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden memberikan sebuah gambaran akan periodesasi awal pemerintahan orde lama yang mana dalam masa orde lama banyak terjadi dinamika perpolitikan yang berkembang pada masa  tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan membahas tentang situasi dinamika sosial politik yang berkembang serta pengaruhnya dalam pelaksanaan Pancasila di era orde lama.

  1. Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah Permasalahan-permasalahan Sosial Politik Era Orde Lama & Penyebabnya
2.    Bagaimanakah Penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila di Era Orde Lama termasuk klarifikasi G30S/PKI?
3.    Bagaimanakah Proses Jatuhnya Presiden Soekarno dan kesalahan-kesalahan yang dituduhkan terhadapnya?

  1. Tujuan Masalah
1.      Mengetahui permasalahan dan situasi Sosial dan Politik Era Orde Lama
2.       Mengetahui penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila di Era Orde Lama termasuk klarifikasi G30S/PKI?
3.      Mengetahui proses Jatuhnya kekuasaan Orde Lama?



Kajian Teori
Nasionalisme
Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham kebangsaan. Nasionalisme itu adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada suatu golongan yang keberadaanya adalah suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riyawat memiliki Sejarah yang sama; kedua rakyat itu rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Sehingga bukan menjadi sebuah persoalan antara perbedaan Ras, bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukan pula batas-batas negeri yang menjadikan bangsa itu. Pandangan nasionalisme inilah menjadi motor penggerak akan sebuah berdirinya suatu bangsa yang saling mengisi satu sama lain, karena suatu bangsa bisa tercermin dengan suatu persatuan yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, yang menjadi suatu itikad suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan dan satu bangsa yaitu bangsa Indonesia[2]
Agama
Berangkat dari sebuah pemikiran tokoh abad kesembilan belas, berkilau-kilaulah yang tercermin dalam dunia keislaman tertulis dalam buku-riwayat muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, dan Sayyid Jamaluddin Al Afghani memberikan sebuah sumbangan pemikiran tentang Pan-Islamisme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia dari sebuah kegelapan dan kemunduran. Walaupun dalam sikap diantara dua tokoh ini ada sedikit perbedaan satu sama lain yang mana Sayyid Jamaluddin Al Afghani yang terkenal dengan pemikiran radikalnya yang mana dalam pemikirannya Sayyid Jamaluddin Al Afghani pertama membangun rasa perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat muslim terhadap bahaya Imperialisme Barat, perlunya sebuah barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme barat.[3] Dengan menanamkan keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil tekniknya kemajuan barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan barat”. Islam yang sejatinya tidaklah mengandung azas anti Nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialis. Selama kaum Islamis memusuhi paham-paham Nasionalisme yang luas budi dan marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas sirothol mustaqim; selama itu tidaklah bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi, sehingga Islam memberikan sebuah tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula. Secara penerapanya Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ditempati. Mencintai dan bekerja untuk rakyat merupakan sebuah pengabdian yang sejati, sehingga ini menjadi motto penggerak untuk bagaimana menjadikan Islam yang mampu menjawab dan mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara.
Marxisme
Perlu disimak bahwa mendengar perkataan ini, maka tampak pada suatu gambaran tentang kaum yang ada di belahan negara manapun mendapati sebuah kaum yang pucat-muka dan kurus badan, pakaian yang kusut, ini menggambarkan sebuah kesenjangan sosial yang nyata untuk bagaimana para kaum intelek muda memberikan sebuah pencerahan bagi kaum Ploretar (rakyat jelata). Bagaimana rakyat jelata sudah mengalami kesengsaraan untuk bisa merubah nasib hidupnya menjadi sebuah kesejahteraan yang nyata. Maka dalam benak pemikirannya Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisanya tidak satu kali mempersoalkan kata kasih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu menjadi sebuah perlawanan dari kaum burjuasi yang identik dengan sebuah paham kapitalisme yang menyengsarakan rakyat jelata. Menjadi sebuah pelajaran yang berharga yang bersandarkan sebuah perbendaan (Materialisme), Karl Marx menjabarkan sebuah teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga kerja hasil dari pekerjaan kaum buruh dalam memproduksi barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang diterimanya sebagai upah (meerwaarde). Dalam pernyataan selanjutnya bahwa “bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubungan dengan pergaulan hidupnya yang menentukan budi akalnya. Sehingga dengan upah (meerwaarde) itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalsaccumulatie), dan bahwa, oleh persaingan perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakkan ini akhirnya Cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya (kapitaalscocentratie). Sehingga ini memberikan sebuah dampak pada nasib kaum buruh makin lama tak menyenangkan dan menimbulkan sebuah ketimpangan sosial. Keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, agama dan lain-lainnya, sehingga paham kapitalisme itu akhirnya akan lenyap dengan sendirinya diganti oleh susunan pergaulan hidup yang lebih adil dan mensejahterakan rakyat jelata.
Dengan uraian yang diatas memberikan sebuah gambaran bagaimana seorang Soekarno dalam menggabungkan sebuah pemikiran yang nantinya menjadi sebuah landasan Soekarno dalam menjalankan suatu roda pemerintahan pada masa orde lama, bagaimana langkah Soekarno menjadikan sebuah terobosan sejarah yang nantinya menimbulkan sejumlah konsekuensi. Karena menurut pemikiran Soekarno dengan menjalankan dan menggabungkan 3 elemen penting tersebut memiliki sebuah keselarasan yang sesuai dengan semangat kepribadian dan nilai-nilai demokrasi asli yang berakar dalam tradisi Indonesia dan “dalam Demokrasi Terpimpin yang menjadi kunci adalah kepemimpinan[4]. Tetapi dalam prateknya Demokrasi yang dilaksanakan oleh Soekarno cenderung pada otoriter dan diktatorial. Kritik utama terhadap pratik Demokrasi terpimpin adalah, meskipun Soekarno dalam menjalankan roda pemerintahan menggunakan kata demokrasi, sesungguhnya tidak lebih dari konsep politik yang mengarahkan pada praktik otorialisme dan diktator. Sehingga menjadi sebuah gambaran menarik dalam dinamika perpolitikan yang ada di Indonesia pada masa orde lama secara tidak langsung Soekarno juga bagaimana berusaha melanggengkan akan kekuasaannya dengan cara memberikan sebuah landasan konsep Ideologi dalam bernegara untuk bisa memberikan pengaruh yang maksimal kepada rekan politiknya walaupun konsep yang ditawarkan soekarno juga menimbulkan sebuah kritik dari lawan politiknya.                           



Pembahasan

A.  Situasi Sosial dan Politik Era Orde Lama pada 1945-1950
Pada saat pemerintahan orde lama, dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang direbutnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untuk menjajah kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang bertekuk lutut dihadapan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan sekutu yang mendarat pada tanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar, bentuk perlawanan dilakukan oleh bangsa Indonesia. Diantaranya pretempuran yang dilakukan 5 hari di Semarang (15-20 Oktober 1945), pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang, pertempuran 7 Oktober 1945, di kotabaru Yogyakarta dan puncaknya adalah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Semua serangkaian itu adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan para penjajahan. Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan. Dengan mengikuti berbaagai perundingan diantaranya adalah perundingan Linggar Jati, Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar), para pemimpin Indonesia berusaha menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan untuk menjaga kesatuan wilayah Nusantara. Perundingan Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 Maret 1947, menghasilkan kesepakatan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan Sumatera serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). Terlepas dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan tokoh-tokoh pergerakan waktu itu, perundingan ini menjadi sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa Indonesia.[5]
Pasca perundingan, ditubuh kabinet terjadi sebuah perpecahan. Partai Sosialis yang memimpin kabinet terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh Sutan Syahrir dan Sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan digantikan oleh Amir Syarifudin. Dalam menjalankan roda pemerintahan sekalipun kabinet Amir Syarifudin ini merupakan kabinet koalisi yang kuat, namun setelah kabinet Amir Syarifudin menerima persetujuan Renville, kembali partai-partai politik menentangnya.
Masjumi yang merupakan pendukung utama kabinet, menarik kembali menteri-menterinya. Tindakan ini diambil, karena Masjumi berpendapat bahwa Amir Syarifuddin menerima begitu saja, ultimatum Belanda atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari KTN. Tindakan Masjumi didukung oleh PNI. Sebagai hasil dari sidang dewan partai tanggal 18 Januari 1948, PNI menuntut supaya kabinet Amir Syarifudin menyerahkan mandatnya kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville, karena persetujuan itu tidak menjamin dengan tegas akan kelanjutan dan kedudukan Republik. Kabinet Amir Syarifudin yang hanya didukung oleh sayap kiri tidak berhasil di pertahankan, dan pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden[6].
Secara keseluruhan persetujuan Renville merugikan RI sehingga kabinet Amir Syarifudin harus menyerahkan mandatnya. Sebagai penggantinya, Presiden Soekarno menunjuk wakil Presiden Moh. Hatta untuk menyusun kabinet. Kabinet Hatta di dominasi wakil dari Masyumi dan PNI, sedangkan dari partai Sosialis dan Amir Syarifudin yang berambisi menjadi Menteri Pertahanan tidak diikutsertakan. Oleh karena itu, mereka merupakan kelompok oposisi terhadap Kabinet Hatta yang dianggap sebagai Kabinet Masyumi.
Amir Syarifudin semakin tersisih, tetapi Amir Syarifudin kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 26 Februari 1948 dengan mempersatukan PS (Partai Sosialis), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Serikat Buruh Perkebuanan RI (Sarbupri). Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) belum sepenuhnya menjadi organisasi bawahan PKI. Front Demokrasi Rakyat yang menjadi organ oposisi itu memilih program anti-Renville, penghentian perundingan dengan Belanda, menasionalisasi perusahaan Belanda, dan pembubaran Kabinet Hatta dan diganti dengan  Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Ketidakpuasan golongan yang anti Kabinet Hatta disebabkan karena gagalnya kehidupan masyarakat, blokade Belanda dan nasionalisasi yang belum berjalan. Oleh karena itu, Serikat Buruh Perkebuanan RI (Sarbupri) melakukan percobaan pemogokan di pabrik karung Delanggu pada Juni 1948. Hal ini semakin membuka konflik antara Pesindo-Sarbupri dengan Hisbullah-Serikat Tani Islam Indonesia (STII), selama berlangsungnya kekerasan 2 kelompok itu, pasuka Siliwangi yang hijrah ke Surakarta diperintahkan untuk memulihkan keamanan. Datangnya pasukan siliwangi ini menyebabkan perasaan tidak senang Divisi IV Diponegoro yang merasa lebih mempunyai tanggung jawab. Polarisasi semakan tampak antara Islam melawan Komunis.
Program rasionalisasi militer dimanfaatkan oleh Amir Syarifuddin dapat dipakai untuk menyerang pemerintahan yang tidak bijak. Selain program rasionalisasi akan mengurangi jumlah militer, juga divisi yang banyak dirugikan adalah divisi yang anggotanya berasal dari kelompok Amir Syarifuddin, termasuk TNI Masyarakat. Dengan demikian, eskalasi konflik makin kuat. Selain komunis yang berorientasi Internasional, di Indonesia berdiri Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) yang didirikan oleh Tan Malaka yang berorientasi Nasional. Oleh karena itu GRR lebih dekat dengan kabinet Hatta daripada FDR-PKI.
Program kabinet Hatta merugikan golongan Amir Syarifuddin sehingga menimbulkan bentrokan fisik. Polarisasi kekuatan yang berkonflik antara Divisi IV-Pesindo dan Siliwangi-Barisan Banteng mengakibatkan teror dan pembunuhan terhadap dr. Moewardi sebagai puncaknya, pecah Pemberontakan PKI Madiun pada tanggal 18 September 1948. Setelah Pesindo mendirikan pemerintahan Soviet di Kota Madiun. Pembunuhan dan penahanan dilakukan terhadap tokoh sipil dan militer yang dianggap merintangi gerakannya. Untuk mengembalikan wibawa pemerintah, pasukan Siliwangi dibawah Kolonel Sungkono. Hanya dalam waktu 2 minggu pemberontakan PKI dapat di tumpas. Pemimpin pemimpinnya yang melarikan diri kebeberapa tempat di Jawa Timur dikejar dan di tembak. Jelas bahwa Soekarno sebagai pemimpin nasional tetap mempunyai wibawa yang besar.
Seiring terjadinya persetujuan Renville yang buntu, gejala kemacetan terjadi dan untuk mengatasinya, wakil Amerika Serikat dan Australia dalam KTN mencari jalan kompromi, yaitu dengan diserahkanya secara rahasia Du Bois Critchley Plan pada tanggal 10 Juni 1948 kepada Belanda. Rencana ini dianggap merugikan Belanda karena perundingan dengan RI dianggap putus. Secara politis Belanda, menekan RI dan secara ekonomi telah memblokade pedagangan luar negeri sehingga RI kekurangan obat-obatan, tekstil, dll. Inflasi semakin meningkat. Menurut Belanda, RI akan jatuh dengan sendirinya. Namun, keadaan ini nanti dimanfaatkan oleh partai komunis dengan mendirikan “Pemerintahan Soviet” di Madiun.
Menjelang Agresi militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 pesawat-pesawat pembom Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo sambil menurunkan pasukan payung. Perlawanan dari pengawal lapangan udara dengan persenjataan yang tidak seimbang untuk mempertahankan lapangan terbang Maguwo. Yang mengakibatkan gugurnya beberapa orang personil tentara udara. Selajutnya gerakan penghambatan dilakukan oleh 2 seksi Brigade 10 dan 2 seksi taruna militer akademi. Yogyakarta menjadi sasaran penyerbuan, tapi baru pukul 11.00 pasukan Belanda dari brigade T di bawah pimpinan kolonel Van Langen masuk kota. Dengan kekuatan tidak seimbang pasukan TNI menarik diri dan bertahan di luar Kota Yogyakarta dengan melakukan perlawanan gerilya. Tentara Belanda kemudian menawan presiden, wakil presiden, Sutan Syahrir dan sejumlah menteri.
Sebagai tanda kemenangannya, Belanda menyiarkan berita keluar negeri dengan arogannya bahwa pers Indonesia di sensor keras dan TNI sudah tiada lagi. Lagi pula para pemimpin sudah di tawan. Akan tetapi, keadaan sebenarnya dapat dikirim lewat radio gerilya yang mengirim berita serangan balik ke Sumatra, Burma, dan India. Diplomat Indonesia, yaitu LN Palar, Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo Sastrosatomo menjelaskan eksistensi RI dan TNI melakukan perang gerilya. Diplomasi Palar diforum Internasional memang hebat dan membuat Belanda tidak berkutik.
Dalam waktu bersamaan sebelum tertangkapnya para pejabat negara, pada pagi hari minggu, tanggal 19 Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerang kota Wakil Presiden Moh. Hatta  sedang menghadiri KTN di Kaliurang untuk mengambil keputusan dalam waktu yang sangat genting di perlukan kehadiran Perdana Menteri Hatta. Sedangakan Menteri-menteri sudah datang ke gedung negara, Presiden dan para menteri duduk diserambi belakang dengan wajah-wajah yang sangat prihatin. Presiden meminta Hatta untuk di jemput. Dengan segera Sultan Hamengku Buwono IX selaku menteri negara dengan sepontan beliau mengatakan hendak menjemput Bung Hatta ke Kaliurang setelah Bung Hatta dan Sultan datang, sidang kabinet segera dimulai.
Dalam sidang itu diambil keputusan pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang di kepalai oleh Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang melakukan perjalanan ke Sumatra sejak sebelum Agresi militer kedua. Telegram dikirim oleh Menteri Perhubungan, Ir. Juanda, kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara bahwa selama pemerintah RI tidak dapat menjalankan fungsi karena ditawan Belanda, maka PDRI-lah yang harus meneruskan roda pemerintahan. Radio gerilya yang ada di dekat kota solo mengirim berita kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara dan selanjutnya menyusun pemerintahan darurat. Mr. Syarifuddin Prawiranegara diberi kepercayaan dan mandat untuk menjalankan PDRI di Sumatera bila tidak berhasil dibentuk, pemerintah telah menyiapkan pemerintahan darurat diluar negeri dengan memberikan kuasa kepada Dr. Sudarsono dan Mr. Maramis yang sedang berada di India.
PDRI ternyata juga aktif dalam menjalankan pemerintahan, Pemerintah Jogja Nonaktif sementara. Kedatangan Hatta di Aceh ialah untuk menjelaskan persetujuan Rum-Roijen dapat di terima dengan baik oleh pemimpin TNI di Aceh dan PDRI. Selanjutnya PDRI setuju dengan persetujuan Rum-Roijen dengan syarat bahwa TNI tetap ada di daerah yang di duduki oleh tentara Belanda ditarik dari tempat yang didudukinya. Pemulihan pemerintahan RI di Yogjakarta dilakukan tanpa syarat. Pernyataan ini disiarkan lewat RRI Sumatera pada tanggal 14 juni 1949. Mr. Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden RI di Yogyakarta tanggal 13 Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama 8 bulan telah berhasil menggantikan pemerintahan RI, meski dalam beberapa hal harus dikonsultasikan dengan fungsionaris RI dalam pembuangan. Jadi salah satu kunci penyelesaian konflik RI-Belanda tetap ada pada Soekarno.[7]
Pada waktu pasukan Belanda memasuki gedung negara pasukan pengawal presiden melakukan perlawanan. Akan tetapi kemudian diperintahkan oleh Soekarno agar mereka tidak melawan. Akhirnya, Belanda menawan Presiden, wakil Presiden, beberapa orang menteri dan tokoh-tokoh politik seperti Sutan Syahrir, KI Hajar Dewantara, Nazir Pamuncak, Moh. Rum, Assaat AG, Pringgodigdo, Komodor Suryadarma, komisaris besar polisi Sumarno, dan Prof Dr Asikin Wijaya Kusuma. Pada tanggal 22 Desember 1948 Bung Karno, Assaat, Hatta, Pringgodigdo, Komodor Suryadarma, Sutan Syahrir dan H. Agus Salim menuju lapangan terbang Maguwo yang seterusnya diterbangkan ke Bangka. Dua hari kemudian Moh. Rum dan Ali sastroamijoyo mendapat giliran dan akhirnya tiba di Pasanggarahan Menumbing.
Bung Hatta mendapat kunjungan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel yang menegaskan bahwa RI telah hapus. Akan tetapi, Hatta menjawab bahwa RI tetap berwibawa meski pemimpinnya dalam tawanan Belanda. Cochran, wakil KTN, juga mengunjunginya dan mendapat jawaban dari Hatta bahwa meski pemimpinnya ditawan, TNI terus bergerilya dan melakukan serangan balasan. Selain itu PDRI berfungsi selama RI Yogyakarta nonaktif.
Bung Karno yang sejak tanggal 22 Desember 1948 ditawan di Brastagi, tanggal 31 Desember dipindah ke Prapat, tepi Danau Toba. Pada tanggal 6 Pebruari Bung Karno dan H. Agus Salim tiba di Bangka. Dengan demikian, dengan hadirnya Bung Karno, Hatta, dan BFO perundingan mengenai rencana pembentukan negara RIS dapat berlangsung dengan baik.
Undangan kepada Bung Karno untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dipercepat tanggal 12 Maret 1949 ditolaknya karena undangan itu tidak menyebut Presiden Republik Indonesia, tetapi mengundangnya secara pribadi. Presiden RI mau menerima undangan setelah pemerintah RI dipulihkan ke Yogyakarta dan menjalankan wewenangnya sesuai dengan resolusi PBB tanggal 28 Januari 1949.
Dengan disepakatinya Prinsip-pinsip Roem-Royen tersebut, Pemerintah Darurat RI di Sumatra memerintahkan kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai politik yang pertama kali menyatakan setuju dan menerima baik tercapainya persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi (Mr. Roem adalah Pemimpin Masyumi). Dr. Sukiman selaku ketua umum Masjumi menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh delegasi RI adalah dengan melihat posisi RI di dunia Internasional dan didalam negeri sendiri, apalagi dengan adanya sikap BFO yang semakin menyatakan hasratnya untuk bekerja sama dengan RI.
Sebagai tindak lanjut dari persetujuan Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni diadakan perundingan formal antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB, dipimpin oleh Critchley (Australia). Hasil perundingan itu adalah:
1.      Pemgembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 juni 1949. Karesidenan Yogyaakarta dikosongkan oleh Tentara Belanda dan pada tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah itu.
2.      Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta
3.      Konferensi meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.                          
Setelah para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13 juli 1949, diadakan sidang kabinet RI yang pertama. Dalam sidang kabinet diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan dan koordinator keamanan.
KMB kemudian diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi. KNIP yang bersidang pada tanggal 6 Desember 1949, berhasil menerima KMB dengan 226 pro lawan 62 kontra, dan 31 meninggalkan sidang. Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Ir Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS pada tanggal 16 Desember 1949 dan pada tanggal 17 Desember (keesokan harinya) Presiden RIS diambil Sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949 kabinet RIS pertama di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta selaku Perdana Menteri, dilantik oleh Presiden. Akhirnya pada 23 Desember delegasi RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta berangkat ke Nederland untuk menandatangani akte “penyerahan” kedaulatan RI dari pemerintah Belanda.
Tanggal 27 Desember 1949 baik di Indonesia maupun di Nederland diadakan upacara penandatangan naskah “penyerahan” kedaulatan. Pada waktu yang sama di Jakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota A.H.J Lovink dalam suatu upacara, Sri Sultan membubuhkan tandatangannya pada naskah “penyerahan” kedaulatan. Maka secara formal Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia dan mengakui kedaulatan penuh Negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Jaya). Dengan demikian berakhirlah secara resmi Perang Kemerdekaan Indonesia.                 
Dengan disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka terbukalah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari 16 Negara bagian dengan masing-masing mempunyai luas daerah dan Jumlah penduduk yang berbeda. Diantara negara-negara bagian terpenting, selain Republik Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan penduduk terbanyak, yaitu Negara Sumatra timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur. Sebagai Presiden atau Kepala Negara yang pertama RIS Ir. Soekarno, sedangkan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai perdana menteri yang pertama.
Tokoh-tokoh yang terkemuka yang duduk dalam kabinet ini antara lain dari pihak Republik Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Sopomo, dr. Leiman, Arnold Mononutu, Ir. Herling Laoh, sedangkan dari BFO adalah Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung. Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet (yang mengutamakan keahlian dari anggota-anggotanya) dan bukan kabinet Koalisi yang bersandarkan pada kekuatan partai-partai politik. Hanya ada dua orang yang menginginkan adanya sebuah negara federal yaitu Sultan Hamid II dan Anak Agung Gede Agung. Sehingga gerakan untuk membubarkan sebuah negara nederal dan membentuk sebuah negara kesataun semakin kuat.
Mengenai pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, pemerintah Negara Indonesia Timur dan pemerintah Negara Sumatra timur menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali kedalam wilayah Negara Kesatuan RI (NKRI). Kedua negara bagian tersebut memberikan mandatnya kepada pemerintahan RIS guna mengadakan pembicaraan mengenai pembentukan Negara Kesatuan dengan Pemerintah RI. Setelah pertimbangan mengenai pokok-pokok pikiran tentang pembentukan negara kesatuan disetujui oleh pemerintah RIS dan Pemerintah RI, maka realisasi pembentukan negara Kesatuan terlaksana setelah di tandatanganinya Piagam persetujuan antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950. Kabinet RIS dibawah pimpinan Hatta memerintahkan sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950. Pada hari itu RIS menjelma menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia (RI). Dengan demikian negara federal itu tidak sampai mencapai usia 1 tahun.
Kesepakatan antara RIS dan RI (sebagai negara bagian) untuk membentuk negara kesatuan, tercapai pada tanggal 19 Mei 1950. Setelah selama kurang-lebih 2 bulan bekerja, panitia Gabungan RIS-RI yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan menyelesaikan tugasnya pada tanggal 20 Juli 1950. Kemudian setelah diadakan pembahasan dimasing-masing DPR, rancangan UUD negara kesatuan diterima, baik oleh senat dan parlemen RIS maupun oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tanggal 15 Agustus 1950 presiden menandatangani rancangan UUD tersebut yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Sementera Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950). UUDS ini mengadung unsur-unsur dari UUD 45 maupun dari konstitusi RIS. Menurut UUDS 1950 kekuasaan legislatif di pegang oleh Presiden, kabinet dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah, walaupun kemudian perlu juga disetujui oleh DPR pada sidang berikutnya. Presiden juga dapat mengeluarkan dekritnya kalau di perlukan. 
                                 
B.  Penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila di Era Orde Lama termasuk klarifikasi G30S/PKI
Dari tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat 4 kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun terdapat pergantian kabinet. Kabinet-kabinet tersebut secara berturut-turut yaitu Kabinet Natsir (September 1950- Maret 1951), kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-1953) dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-1955). Dapat digambarkan, bahwa dalam waktu rata-rata satu tahun itu, tidak ada kabinet yang dapat melaksanankan programnya, karena parlemennya terlalu sering menjatuhkan kabinet bila kelompok oposisi kuat. Bahkan pernah terjadi partai-pemerintah menjatuhkan kabinetnya sendiri. Boleh dikatakan bahwa semua kabinet, termasuk yang resminya bersifat Zaken Kabinet (yang mengutamakan keahlian dari Anggota-anggotanya), didukung oleh koalisi diantara berbagai partai. Juga pihak oposisi komposisnya dapat berubah-ubah. Inilah yang menyebabkan berkecamuknya istabilitas politik.
Hari-hari politik Indonesia, terutama pada 1950-an dan 1960-an, adalah hari-hari yang dipenuhi gejolak. Dinamika politik ditingkat nasional, setidaknya menggambarkan hal itu. Praktik demokrasi parlementer setelah kemerdekaan, dan terutama setelah pemilu 1955 ditandai oleh adanya sebuah sikap Jor-joran antar kekuatan politik yang bernuansa ideologis. Salah satu dampaknya adalah tergantungnya praktik penyelenggaraan pemerintah secara kuat dan efektif. Kabinet-kabinet pemerintahan Jatuh bangun dalam waktu yang singkat. Persaingan ideology politik aliran demikian atraktif juga berimbas dalam dinamika kehidupan politik sehari-hari. Pasca pemilu 1955, kekuatan-kekuatan politik Indonesia semakin jelas, yakni PNI (partai nasional Indonesia), Masyumi, NU (Nahdlatul Ulama), dan PKI (partai Komunis Indonesia)yang merupakan empat besar dengan perolehan suara masing-masing 8.434.653 (22,3 %), 7.903.886 (20,9%), 6.955.141 (18,4%), dan 6.179.914(16,4%).
Selain kekuatan empat besar tersebut, terdapat beberapa partai lain yang berada pada level perolehan suara menengah, dapat disebut antara lain: PSII (partai Syarikat Islam Indonesia). Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai katolik, PSI (partai Sosialis Indonesia), Perti (aprtai Tarbiyah Islamiyah), dan IPKI (ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia). Diluar partai-partai politik, angkatan bersenjata khususnya Angkatan Darat merupakan kekuatan politik anti-Komunis, yang tidak dapat dimungkiri tampil sebagai kekuatan politik pengimbang yang efektif.
Kabinet yang terbentuk pasca-pemilu 1955 melanjutkan kabinet-kabinet parlementer sebelumnya. Ketika pemilu usai, kabinet Boerhanoeddin harahap (1955-1956), segera digantikan Ali Sastroamidjojo (1956-1957), Djuanda (1957-1959) dan setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja (1959-1964) dan Kabinet Dwikora (1964-1966). Dilihat dari durasi pemerintahan, kabinet-kabinet demokrasi parlementer rata-rata berjalan secara singkat. Kabinet bangun dan jatuh seirama dengan dinamika politik. Dan, dalam perkembangannya, jatuhnya pemerintahan demokrasi liberal pada 14 Maret 1957 membuka jalan bagi penerapan gagasan-gagasan Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin. Bahwa Soekarno membayangkan suatu jenis rezim korporatis yang didasarkan pada asas-asas tradisional gotong-royong dan musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagai strategi yang Sekaorno yakini dan paling efektif untuk memobilisasikan dukungan rakyat. Atas gagasan itu, seokarno mengusulkan pembentukan kabinet gotong-royong yang meliputi semua partai politik dan suatu dewan nasional yang terdiri dari para wakil kelompok fungsional, daerah dan anggota Ex-officid seperti para kepala staf ABRI, kepala kepolisian, Jaksa Agung dan menteri-menteri penting tertentu. Badan ini diketuai oleh Presiden.
Konsepsi tersebut didukung oleh golongan komunis (PKI) dan nasionalis (PNI), tetapi ditolak oleh Masyumi, sementara partai-partai lain mengambil sikap menanti dan melihat perkembangan. Karena gagasan itu merupakan pengakuan terhadap hak militer akan perwakilan politik, maka pimpinan Angkatan Darat mendukung pembentukan dewan Nasional, tetapi tidak mendukung kabinet yang didalamnya terdapat politisi Komunis.
Agenda kerja pertama Dewan Nasional mencakup rencana-rencana mendirikan suatu dewan perencanaan nasional, parlemen baru yang terutama terdiri dari kelompok-kelompok fungsional non partai dan suatu system kepartaian baru, yang diarahkan menjadi system partai tunggal. Dalam mencari suatu basis konstitusional yang kuat untuk melancarkan perubahan politik radikal seperti itu, kepala Staf Angkatan darat Jenderal A.H. Nasution meminta dewan Nasional untuk mendesak Dewan Konstituante agar kembali ke UUD 1945. Ditengah kegagalan Dewan Konstituante, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang didukung oleh Angkatan darat dan beberapa partai politik.
Manuver politik Soekarno yang didukung militer (AD) tersebut efektif mengakhiri era demokrasi parlementer. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dibacakan dalam upacara resmi di Istana Merdeka tersebut, intinya adalah, pembubaran Badan Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Langkah Soekarno untuk mengembalikan UUD 1945 dipandang sebagai terobosan sejarah, namun Soekarno segera memunculkan sejumlah konsekuensi. Yang menjadi persoalan utama adalah ketika Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi dipandang tidak konsisten dengan Implementasi Pancasila dan UUD 1945, ketika seorang Soekarno mempraktikkan berbagai kebijakan yang tidak demokratis.
Banyak tokoh-tokoh politik yang ditahan pada masa ini karena berseberangan dengan arus utama Demokrasi Terpimpin. Kendatipun demikian, dekrit itu merupakan sebuah fakta sejarah yang kehadirannya tidak semata-mata merupakan puncak kekesalan Soekarno terhadap partai-partai politik, tetapi juga merupakan bagian dari scenario politik yang lebih besar dalam mengimplementasikan eksperimen Demokrasi terpimpin. Sehingga pada peringatan Hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, presiden Soekarno menyampaikan pidatonya “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Isi pidato itu kemudian mendasari Manipol USDEK, sebagai singkatan Manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional. Menurut Soekarno, Manipol USDEK ini merupakan intisari dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.
Pada Maret 1960, Soekarno membekukan keanggotaan parlemen yang keanggotannya berdasarkan komposisi hasil Pemilu 1955, dan memperbarui komposisi parlemen yang disebutnya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR). Langkah politik Sukarno ini memperoleh penolakan dari partai-partai politik yang kemudian membentuk liga Demokrasi. Kelompok ini terdiri dari para politisi Masyumi, IPKI, Parkindo, Partai Katholik, dan PSI. Tandingan dari Liga Demokrasi ialah Liga Muslimin, yang didukung NU, PSII dan Perti yang akomodatif terhadap garis Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Walaupun demikian, beberapa tokoh NU yakin KH. A. Dahlan dan Imron Rosyadi, justru bergabung dalam Liga Demokrasi walaupun tidak membuat sikap politik NU berubah. Pada bulan Agustus 1960, Soekarno membubarkan Masyumi dan PSI, serta menyerderhanakan sistem kepartaian dengan mengakui hanya sepuluh partai politik saja. mengenai pembubaran Masyumi, keputusan “membubarkan Partai Politik Masyumi, Termasuk bagian-bagian/ cabang-cabang/ranting-ranting diseluruh wilayah negara Republik Indonesia” tampak dari alasan yang disebutkan pada butir menimbang, pada keputusan presiden Republik Indonesia Nomor 200 tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960.
Ini menjadi sebuah gambaran bagaimana setelah Dekrit 5 Juli 1959, kekuatan-kekuatan politik yang menonjol dipentas nasional direpresentasikan oleh kekuatan-kekuatan politik NASAKOM. Kekuatan politik nasionalis direpresentasikan oleh PNI, agama oleh NU, dan Komunis oleh PKI. Sehingga Demokrasi terpimpin memposisikan Soekarno sebagai titik pusat kekuasaan. Soekarno sebagai presiden bukan hanya sebagai symbol. Kekuatan politiknya jauh melampaui seorang presiden dimasa normal. Dari adanya demokrasi terpimpin ini kekuatan militer dan PKI saling berebut pengaruh terhadap kepemimpinan Soekarno. Karena apa yang menjadi kebijakan eksperimen politik Soekarno terkait NASAKOM merupakan eksperimen politik yang mencoba menyatukan antara kekuatan non-komunis melawan komunis. Ini sesungguhnya sangat beresiko, tidak saja bagi Soekarno tetapi juga bagi masa depan bangsa Indonesia.
Dengan kebijakan yang dibuat Soekarno, PKI mendapatkan angin segar karena PKI merupakan representasi kekuatan politik Komunis di Indonesia, yang mengalami pertumbuhan politik yang fenomenal pada decade 1950-an. Catatan sejarahnya yang kelam dalam pemberontakan 1948 di Madiun, tidak membuat partai yang kemudian dikendalikan oleh DN Aidit ini tampil sebagai kekuatan politik keempat merujuk pada hasil pemilu 1955. Aidit mengembangkan srategi “jalan damai” menuju kekuasaan, yakni bekerja sesuai dengan system parlemen liberal dan turut serta dalam pemilu. Kemampuan pimpinan PKI dan Kecondongan Soekarno terhadapnyalah yang antara lain menjadi faktor penting yang memungkinkan PKI membangun basis massa pendukung yang kuat dan menjadi salah satu dari empat besar sistem kepartaian Indonesia pasca-Pemilu 1955. Setelah besar, Strategi “jalan damai” bergeser ke tindakan-tindakan politik yang radikal, terutama setelah Soekarno mencabut UU Darurat pada 1963.
Kekuatan politik PKI diimbangi dengan kekuatan militer yang pamornya meningkat sejak keberhasilannya menumpas beberapa pemberontakan di daerah pada akhir decade 1950-an, Angkatan darat merupakan kekuatan yang dituntut untuk pandai beradu strategi dengan komunis yang memanfaatkan ekksperimen politik pada saat itu. Karenanya, Ketika PKI dengan dukungan Perdana Menteri China Zhou Enlai mendesak “angkatan lima”, AD berusaha keras untuk menolak dengan konsep tersebut. PKI juga mendesak gagasan “Nasakomisasi Angkatan Darat”. Namun pada Mei 1965, Ahmad Yani bertemu dengan Soekarno uantuk membahas Nasakomisasi Angkatan Darat, dengan pernyataan Ahmad Yani yang mampu meyakinkan Soekarno bahwa gagasan Nasakom sama dengan semangat persatuan yang menghubungkan Nasionalisme, agama, dan Komunisme, bukan Suatu struktur formal yang akan dapat memberikan PKI peranan dalam urusan-urusan Angkatan Darat.
Dari persaingan politik yang dilakukan oleh PKI dan Angkatan Darat inilah yang nantinya memunculkan sebuah gejolak politik yang berimbas pada ketegangan dan nantinya memunculkan persaingan untuk berebut sebuah kekuasaan Eksekutif yang berimabas pada sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan yang dimunculkan dengan peristiwa G 30 S pada tahun 1965 yang ini memunculkan sebuah perdebatan terkait peristiwa tersebut.                  



C.                Proses Jatuhnya Kekuasaan Orde Lama
Tahun 1966 menjadi simalakama bagi pemerintahan Orde Lama. Siapa sangka, si Bung Revolusi yang sangat haqqul yaqqin dengan segala kepribadiannya harus tumbang dari kursi kepresidenan. Padahal MPRS telah melantiknya menjadi presiden seumur hidup. Politik yang ia agungkan sebagai panglima malah menyeretnya ke ruang isolasi zaman. Ia teralienasi bersama ideologinya. Kebalikannya, 1966 bagi Mayor Jendral Soeharto seperti mendapat durian runtuh. Karirnya langsung meroket bersamaan dengan pangkatnya yang berbuah purna Jendral penuh dan diangkat sebagai pejabat presiden. Peran sentralnya dalam memulihkan stabilitas sosial politik pasca tragedi G-30-S, kemudian menjadikan Supersemar sebagai surat “pengalihan kekuasaan”, menjadikan pemuda Kemusuk, Bantul ini mantap berada dalam trek kepemimpinan RI-1.
Tanpa ragu, Soeharto mengambil tindakan kontroversi. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan segera-tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarno-menangkap sekitar 12 menteri Kabinet 100 Menteri.[8] sejak tanggal itu jalannya pemerintahan kekuasaan efektif berada di tangan Soeharto. Praktis, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia militer mulai memegang dan mendominasi tampuk kekuasaan. Setidaknya untuk 32 tahun ke depan. Bahkan sampai sekarang, presiden berdarah militer masih menjadi pilihan rakyat ketimbang sipil.
Soekarno meradang. Ia sangat kecewa dengan tindakan Soeharto yang salah menafsirkan SP-11-Maret. Dalam pidato HUT RI 17-8-1966, Soekarno berkali-kali menakankan bahwa SP-11-Maret adalah suatu perintah pengamanan; jalannya pemerintahan, keselamatan pribadi presiden, wibawa presiden dan ajaran presiden. Bukan suatu penyerahan pemerintahan (transfer of authority). Jelas, dalam pidato terakhirnya sebagai presiden di hari kemerdekaan RI tersebut, Ia juga mengutuk Gestok.[9]
Supersemar seakan menjadi sebuah blunder bagi Soekarno. Sepucuk surat yang mengakhiri karir politiknya sebagai seorang Presiden. Revolusi yang menjadi kata azimat, pun harus kandas di tengah jalan. Sepucuk surat yang mengantarkan seorang anak petani menjadi seorang presiden, mengawali sebuah orde (baca: rezim) baru pemerintahan. The gret leader sipil, Bung Karno, harus legowo menyerahkan nakhoda kepemimpin NKRI kepada the smilling general.
Tabiat sejarah selalu memunculkan kontroversi. Senada, sepucuk surat itu pun sampai sekarang masih menjadi sebuah kontroversi. Sebagaimana kita tahu, Surat perintah 11 Maret adalah basis legitimasi orde baru, tetapi sekaligus titik kontroversi dari fakta yang belum tuntas. Fakta yang superlatif justru membuat orang mempertanyakan kebenarannya. Sebab, antara fakta yang diciptakan dengan kenyataan yang bisa diuji kebenarannya, justru saling tolak.[10]
Supersemar dan legitimasi kekuasaan Soeharto
Seusai terjadinya tragedi 1965, sebagai salah satu perwira senior pasca wafatnya ketujuh jendral dalam peristiwa tersebut, Soeharto mengambil langkah-langkah strategis dalam mengamankan kondisi kemanan di Ibu Kota. Langkah pertama yang diambilnya adalah mengambil alih kepemimpinan dalam Angkatan Darat yang kosong selepas wafatnya Jendral Ahmad Yani. Padahal presiden Soekarno telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat Mayjen Pranoto Resosamudro sebagai caretaker. Ia juga mengambil alih peranan Panglima Tertinggi ABRI dari Presiden Soekarno. Dan, secara sepihak,  ia memberlakukan keadaan darurat.[11]
Langkah Mayjen Soeharto yang paling efektif adalah memonopoli media massa, sehingga ia dengan leluasa dapat membentuk opini (public opinian) sesuai yang dikehendakinya. Suatu langkah yang kemudian terus dilanjutnya selama memerintah negara ini lebih dari 31 tahun.[12] Mengetahui secara de facto bahwa ia sudah mengandalikan pasukan ABRI, Soekarno mengangkatnya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Bahkan ia mengangkat Soeharto menjadi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat, setelah Mayjen Pranoto Resosamudro dijebloskan kepenjara karena dituduh terlibat G30S.
Soekarno bak tikus yang tersudutkan akibat aksi Soeharto. Semua serba dilematis. Gelombang aksi demonstran yang turun ke jalan, bahkan sampai menduduki Istana Merdeka, semakin tidak terkendali. Mereka mendesak Soekarno untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membersihkan kabinet Dwikora dari antek-antek PKI. Namun, idealisme Soekarno tidak bisa digertak.
Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966, Bung Karno memperoleh laporan, bahwa Istana telah dikepung oleh para demonstran, disertai “pasukan liar” yang tidak berseragam. Bung Karno kemudian diterbangkan menggunakan helikopter ke Istana Bogor. Sementara Pak Harto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat  yang waktu itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit, kemudian mengutus Mayjen. Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen. Amirmachmud. Kepada ketiga jendral itu, Pak Harto menyampaikan pesan, seandainya ia masih dipercayai, agar Bung Karno menyerahkan pemulihan ketertiban dan keamanan kepada dirinya. Pesan itu disampaikan kepada Bung Karno di Istana Bogor, dan terjadilah proses penyusunan surat perintah, yang konon tidak mudah, meskipun akhirnya keluar naskah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret.[13]
Setelah Supersemar dalam genggaman Suharto, maka dia tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membubarkan PKI dan menyatakan bahwa organisasi PKI adalah organisasi yang terlarang pada tanggal 12 Maret 1966.
 Langkah Suharto membuat geram Presiden Sukarno. Dia menyatakan bahwa seharusnya Suharto tidak bertindak terlalu jauh dari wewenang yang diembannya. Akhirnya Presiden Sukarno memanggil Suharto untuk dimintai pertanggungjawabanya mengenai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Suharto. Namun dengan alasan masih menderita sakit flu, Letjend. Suharto tidak memenuhi panggilan Presiden Sukarno untuk datang ke Istana Bogor.
Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh membacakan perintah tertulis bahwa Presiden Sukarno menegaskan Surat Perintah Sebelas Maret tidak berarti penyerahan kekuasaan oleh Presiden kepada Suharto. Siaran warta berita RRI pusat dimulai dengan pengumuman dari Istana Merdeka. Waperdam III Chaerul Saleh tampil di depan corong, membacakan pengumuman presiden nomor 1/Pres/66 yang menyatakan penyesalan sebesar-besarnya karena masih ada sikap dan usaha dari sebagian anggota masyarakat untuk memaksakan kehendak. Terlebih-lebih dilakukan secara ultimatif kepada presiden dan kepada para menteri yang sedang bertugas membantu kepala negara.[14]
Ironisnya, pada tanggal 18 Maret 1966 Suharto menangkap 15 anggota Kabinet Dwikora yang terindikasi terlibat dalam organisasi PKI, termasuk di dalamnya Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. seluruh kabinet Dwikora digantikan oleh anggota-anggota baru yang pro Suharto. Hal yang sama dilakukan pula kepada para anggota MPRS, Jenderal AH. Nasution yang bersitegang dengan Soekarno[15] duduk sebagai ketua MPRS.
Sidang Umum (SU) MPRS kemudian digelar pada tanggal 20 Juni sampai 6 Juli di Istora Senayan. Beberapa keputusan yang dihasilkan dari Sidang Umum tersebut yaitu: mencabut gelar Soekarno sebagai presiden seumur hidup, ditolaknya pidato pertanggungjawaban Seokarno sebagai presiden, dan yang terpenting adalah dikukuhkannya Supersemar sebagai Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Pengukuhan Supersemar menjadi Tap MPRS yang punya kekuatan sangat kuat, menutup peluang Soekarno untuk mencabutnya kembali. MPRS memberikan mandat kepada pengemban SP 11 Maret, untuk membentuk kabinet baru. Tanggal 25 Juli 1996, Kabinet Ampera dibentuk dengan Jenderal Suharto sebagai ketua presidium. Seupersemar menjadi titik tolak balik yang mengakhiri dualisme kekuasaan antara Soekarno dan Soeharto.

Kesimpulan
Pemaparan diatas menunjukkan bahwa Penafsiran dan Pelaksanaan Pancasila pada masa Orde Lama tidak terlepas dari situasi politik pada masa itu. Sebagai negara yang baru lahir, Pancasila sudah langsung mengalami introdusir secara keliru oleh rezim yang berkuasa. Penyimpangan banyak terjadi selama masa Orde Lama yang dinahkodai oleh Presiden Soekarno. Diantaranya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mendekritkan kembali UUD 1945. Pada masa itu Presiden Soekarno menyampaikan konsep yang disebut Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan pada UUD 1945 dan dijiwai Pancasila ini menjanjikan ia seorang yang otoriter.
Selain itu Bung Karno mengembangkan konsep NASAKOM (Nasional, Agama, Komunis). Nasakom dianggap sebagai cara paling tepat untuk mempersatukan bangsa. tidak semua orang setuju adalah tidak mungkin mempersatukan kaum komunis yang tidak mempercayai adanya Tuhan dengan Umat beragama. Dalam menjalankan ide politiknya itu, Sokearno menggandeng PKI. PKI pun memanfaatkan kebijaksanaan presiden Soekarno dalam menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. PKI memasukkan ideologinya dalam garis-garis besaar haluan negara (GBHN) yang dihasilkan oleh MPRS.
PKI menteror serta menjatuhkan setiap lawan politiknya. Puncaknya pada tahun 1965 PKI melakukan pemberontakan dengan melakukan penculikan terhadap para pejabat-pejabat teras TNI AD yang dianggap PKI sebagai penghalang rencana mereka untuk merebut kekuasaan. Rakyat yang tergabung dalam Front Pancasila tidak puas atas ketidaktegasan pemerintah terhadap G-30-S/PKI. Presiden Soekarno juga menilai G-30-S/Pki adalah suatu perbuatan makar . jika tidaksegera menhukum PKI akibatnya aksi0aksi rakyat semakin meningkat. Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), KAPI dan KAPPI menyampaikan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu bubarkan PKI, Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI dan turunkan harga.
Pada tanggal 11 Maret 1966 aksi-aksi demonstrasi mencapai puncaknya, Presiden Soekarno memberikan Surat Perintaah Sebelas Maret (SUPERSEMAR kepada LetJend. Soeharto dan memerintahkan kepadanya untuk mengambil tindakan yang perlu, guna terjamin keamanan serta kestabilan jalannya pemerintahan untuk sementara dengan lahirnya Orde Baru. Pada tanggal 12 Maret 1966 LetJend. Soeharto membubarkan PKI dan Ormas-Ormsnya dan dinyatakan sebagai Partai Terlarang di Indonesia.Kekuasaan Soekarno mulai jatuh setelah laporan pertanggungjawaban G-30-S/PKI ditolak oleh MPRS dan pada tahun 1966 atas ketetapan Sidang Umum ke IV MPRS agar Soeharto membentuk Kabinet Ampera ini menyebabkan adanya Dwifungsi kepemerintahan Soekarno dan Soeharto. Pada sidang istimewa MPRS, tanggal 12 Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden dan memberhentikan dengan hormat Presiden Soekarno dari jabatannya dan pada tahun 1978, tanggal 27 Maret secara aklamasi MPRS menetapkan Soeharto sebagai Presiden.
Sebagai kalimat penutup, penulis mencoba berada posisi netral. Dalam artian, kami bukan bermaksud ‘mengutuk’ pemerintahan Orde Lama dengan berbagai penyimpangan yang dilakukannya terhadap Pancasila, tetapi mencuba menarik suatu nilai (values) penting untuk dijadikan hikmah dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Senada yang dikatakan Bung Karno “buang abunya, ambil apinya”. Nilai itu terdapat pada sosok Soekarno sendiri  yang merupakan tokoh dengan berjuta polemik, di tahun 1945 ia adalah seorang pejuang tetapi di tahun 1950an keatas ia malah termakan oleh kekuasaan. Tapi patut diteladani sebagai nasionalisme Indonesia. Tak dipungkiri lagi, Soekarno merupakan manusia yang kompleks, unik dan brilian dalam ide gagasannya. Bapak Bangsa yang sulit ditebak jalan pikirannya, penuh dengan sinkretisme ideologi, tetapi dibalik itu semua beliau hanya mengingankan Persatuan dan kesatuan Bangsanya. Dan Pancasila, merupakan salah satu dari sumbangsihnya untuk bangsa Indonesia tercinta.

Daftar Pustaka
Frans Magnis-Suseno SJ, 45 Tahun Supersemar. Kompas, Jumat 11 Maret 2011.
James Luhulima, Peristiwa G30S “Titik Balik” Soekarno, dalam Dialog Dengan Sejarah, Soekarno Seratus Tahun, (Jakarta: PB. Kompas, 2001).
Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang, Jakarta: Kompas, 2010,
Herbert  Feith dan Lance Castles. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto.1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Rumekso Setyadi. Membaca Sejarah secara Terbalik. Kompas, Sabtu, 27 September 2008.
Soekarno, Nasionalisme, Islamisme Dan Marxisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012
Sulastomo, Hari-Hari Yang Panjang Transisi Orde Lama Ke Orde Baru (Sebuah Memoar), (Jakarta: PB. Kompas, 2008).
Suhartono W. Pranoto. Sultan Hamengkubuwana. Yogjakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar